Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Hentikan Eufemisme Dangkal dalam Penulisan Berita Pemerkosaan

12 Juli 2020   22:59 Diperbarui: 13 Juli 2020   05:49 1267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: aceh.tribunnews.com/Tribun Jateng

Tiga contoh judul dan berita di atas merupakan bentuk konkret subtitusi kata yang memiliki asosiasi akar dan makna kata. Semua gara-gara tabu bahasa. Lantaran kata perkosa, memerkosa, pemerkosaan, dan perkosaan dianggap kasar, sebagian jurnalis melakukan akrobat kata-kata. Eufemisme. Penghalusan kata. 

Ajaibnya, kata yang mesti diperhalus justru tidak diperhalus. Contoh: gadis tuli digagahi oleh pamannya sendiri. Bisa diganti: Seorang paman memerkosa kemenakannya, seorang gadis tunarungu.

Berita, termasuk kabar pemerkosaan, harus jelas dan mudah dipahami. Dengan demikian, jurnalis sedapat mungkin menggunakan makna denotatif dan menghindari makna konotatif. Lebih jelasnya, jurnalis sebaiknya memakai makna kata yang sebenarnya alih-alih menggunakan makna kiasan. Gunakan pemerkosaan, bukan penggagahan. Pakai memerkosa, bukan menggagahi.

Agar jelas dan mudah dipahami, diksi dalam berita harus tertata rapi, terangkai dalam kalimat yang mengalir lancar sejak awal sampai akhir, menggunakan kata yang merakyat atau akrab di telinga masyarakat, serta tidak tersusun dengan kaku, formal, dan sulit dicerna. Hubungan antarkalimat perlu diperhitungkan agar pembacaan tidak tersendat-sendat dan pembaca tidak salah tafsir.

Berdasarkan telaah ringkas di atas, dapat dikatakan bahwa kata-kata yang dipakai sebagai pengganti leksem perkosa justru mengaburkan konteks peristiwa pemerkosaan. Pemerkosa diuntungkan, korban pemerkosaan dibuntungkan. Kata disetubuhi, digagahi, dan dirudapaksa memang memiliki relasi makna dengan diperkosa, tetapi bersifat diskriminatif terhadap korban.

(3)

Penulisan berita pemerkosaan, sebagaimana dengan kejahatan atau kriminal lain, harus taat pada kode etik jurnalistik dan undang-undang pers agar berita yang disampaikan sesuai dengan etika bahasa jurnalistik. Adapun etika bahasa jurnalistik dalam penulisan berita kriminal yang tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik berikut ini.

  1. Pasal 3, wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
  2. Pasal 4, wartawan Indonesia pantang menyiarkan karya jurnalistik--tulisan, gambar, dan suara--yang menyesatkan, memutar balik fakta, bersifat fitnah, cabul, dan sensasional.
  3. Pasal 5, wartawan Indonesia dalam memberitakan kejahatan asusila tidak merugikan pihak korban. Dalam penulisannya tidak boleh sangat detail mengenai kejadian tersebut dan memilih kata-kata yang tidak sensual atas tindakan yang dialami korban.

Pada hakikatnya pers berfungsi sebagai penyebar informasi. Agar fungsi tersebut berjalan dengan baik, pers harus mempunyai pijakan alasan yang tepat dalam menyajikan berita kriminal. Pers tidak boleh mempromosikan kejahatan kepada khalayak, tetapi menyiarkan berita kriminal dengan harapan agar masyarakat tidak melakukan hal serupa.

Itu sebabnya isi berita kriminal, terutama pemerkosaan, tidak boleh membeberkan detail peristiwa demi mencegah peniruan. Selain itu, berguna pula untuk mencegah dampak psikologis terhadap korban. Jurnalis harus menyadari bahwa berita yang memuat proses dan cara perkosaan secara terperinci dapat memicu trauma psikologis korban dan keluarganya.

Harus disadari bersama bahwa pemerkosaan merupakan peristiwa kekerasan seksual yang tergolong kasus tindakan kriminal berat, karena berakibat secara fisik dan secara psikis pada korbannya. Oleh karena itu, pemberitaan tentang peristiwa pemerkosaan sewajarnya tidak menerapkan eufemisme. Apa pun alasan dan tujuannya.

Jika eufemisme dilakukan supaya kejadian kriminal itu dapat disamarkan atas nama kesopanan, sekalian saja jangan diberitakan. Kalau tetap bersikeras memberitakan pemerkosaan, sebaiknya pergunakan diksi yang tepat untuk realisasi makna perbuatan pemerkosaan. Demi pertimbangan psikologis perempuan sebagai pihak yang menjadi korban, gunakan diksi yang tepat dan sesuai.

N diperkosa beramai-ramai oleh lima lelaki. Silakan ganti dengan: Lima laki-laki beramai-ramai memperkosa N. Jadikan pemerkosa sebagai subjek berita, bukan korban perkosaan.

Simbol-simbol yang mempertegas dominasi laki-laki atas perempuan, simbol maskulinitas, sebaiknya dikurangi. Kalau bisa, dihentikan. Simbol maskulinitas lumrahnya melekat pada teks berita melalui pemilihan kata, pelaku, narasumber, dan aparat hukum yang terlibat dalam pemberitaan. Kekerasan, kekuasaan, kekuatan, dan dominasi laki-laki atas perempuan menjadi hal yang paling banyak muncul dalam ketiga berita di atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun