Salah satu tujuan pendirian IMJ adalah membuka akses seluas-luasnya bagi para musisi jalanan. Banyak musisi jalanan yang mempunyai kemampuan bermusik di atas rata-rata, hanya saja mereka tidak mendapat ruang yang tepat untuk berekspresi.
Sekarang tidak lagi. Pengamen yang bergabung dengan IMJ sudah makin maju. Bagi musisi jalanan, seperti Ridho, mengamen di ruangan berpendingin atau tampil di televisi adalah karunia luar biasa.
Dua tahun lalu Ridho tiba di Kedai Ekspresi, markas lama IMJ di Depok. Setelah bergabung dengan IMJ, Ridho tidak lagi tampil sendirian. Ia bergabung dalam satu grup band. Koste Band namanya.
Di IMJ pula ia belajar banyak tentang bermusik, etika tampil di panggung, dan cara bersikap. Pengajarnya pun tidak tanggung-tanggung, dari musisi papan atas hingga praktisi hak kekayaan intelektual.
Penyuka batagor itu kini tidak bermusik di jalanan lagi. Ia naik kelas. Panggungnya pindah dari warung ke mal, dari perempatan ke stasiun MRT, dari pintu pagar ke ruang publik. Dari lorong kursi di bus ke ruang publik.
Tidak mudah bagi penyandang tunanetra mengamen di jalan. Rentan bahaya. Jatuh ke kali hanya satu "kisah sedih" di antara sekian banyak situasi rawan yang pernah ia alami.
Nasib Ridho perlahan berubah. Dari meraup puluhan ribu menjadi puluhan juta. Dalam sekali manggung di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan, ia bersama Koste Band berhasil meraup saweran sebanyak Rp10.000.000,00.Â
Itu rekor baru. Rekor itu hanya bertahan sehari. Keesokan harinya Ridho dkk meraup Rp12.000.000,00. Itu rekor fantastis. Sudahlah tempat mengamennya nyaman, dapat banyak uang pula.
"Kami ingin penampilan kami dinikmati. Bukan sekadar tampil dan dikasih uang," ujar Ridho dengan nada tegas. "Setelah bergabung dengan IMJ, saya dan teman-teman pernah mendapat sepuluh juta dalam sekali ngamen. Itu luar biasa. Mustahil terjadi seandainya saya masih mengamen di jalan."
Pernah suatu ketika tatkala tampil pada Hari Bebas Berkendara (CFD) di kawasan Sudirman, pada Ramadan tahun lalu, seorang penonton bergegas memeluk Ridho, menangis sesunggukan, dan mengatakan "terima kasih" dengan suara tersendat-sendat. Hanya dua kata, tetapi peristiwa itu melekat sangat kuat di benak Ridho.