Jangan buru-buru pajang tulisan Anda di blog, jangan! Kita sering kali tergoda oleh hasrat tulisan kita segera dilahap pembaca. Salah-salah menjadi bumerang. Alih-alih dilahap, tulisan kita malah dilepeh.
Adalah hak Anda selaku penulis untuk memperlakukan tulisan Anda sekehendak hati. Saya paham itu. Saya juga paham, Anda pasti habis-habisan menyusun kalimat sehingga Anda ingin--menyenangkan hati dengan--segera menyapa pembaca lewat tulisan yang baru saja Anda tata.
Meski begitu, Anda perlu menyadari bahwa pembaca berhak membaca tulisan yang apik. Kalaupun tidak menggugah atau mengubah, setidaknya mereka membaca tulisan yang menyenangkan perasaan dan mengenyangkan pikiran.
Di sinilah pentingnya seorang bloger, termasuk Kompasianer, tidak tergesa-gesa mengeposkan (bukan memposting) tulisan. Sebaiknya tahan diri dulu. Cobalah baca ulang sembari melakukan swasunting (self-editing).
Meskipun Anda tidak pernah belajar ilmu penyuntingan secara formal, Anda tidak perlu berkecil hati. Editologi atau ilmu penyuntingan bisa dipelajari secara autodidak. Ini bukan seruan bombastis karena saya sudah membuktikannya.
Bambang Trim, dalam Memahami Copyediting: Pengantar dan Aplikasi Praktis Editing Naskah untuk Penerbitan Buku (2005, 3), menunjukkan bahwa pendidikan formal terkait dunia penerbitan baru dimulai pada akhir 80-an. Itu pun baru di dua kampus, yaitu Program Studi Editing D-3 di Universitas Padjajaran dan D-3 Penerbitan di Politeknik Negeri Jakarta.
Jadi singkirkan rasa sangsi di hati. Yakin saja bahwa swasunting bisa Anda pelajari. Tinggal memicu gairah dan memacu tekad. Di mana Anda dapat memperoleh bacaan mengenai teknik swasunting? Tidak perlu cemas. Bloger bisa belajar di monitor komputer atau di layar laptop. Bahkan di ponsel.
Lagi pula, Anda bisa "menyelam sambil minum air". Dengan kata lain, terus menulis seraya tetap belajar. Kalau tidak, Anda tidak akan melirik dan membaca trik swasunting sederhana ini. Baiklah, mari kita mulai!
Konsistensi Kata dan Tanda Baca
Pemilihan kata yang tepat akan memudahkan Anda untuk mencurahkan gagasan dan memudahkan pembaca dalam mencerna gagasan Anda. Begitu amanat Datus C. Smith Jr. Dalam A Guide to Book Publishing (1992: 77), Smith menekankan supaya editor (dalam artikel ini berarti penulis yang ingin melakukan swasunting) menjaga konsistensi dalam menggunakan kata dan tanda baca.
Meskipun Anda leluasa memilih kata, entah ragam resmi entah ragam cakapan, Anda mesti konsisten. Tidak asal menghambur-hamburkan kata. Jika sejak awal tulisan Anda memakai "aku", sebaiknya Anda setia menggunakan "aku". Jangan dicampur aduk dengan "gue" atau "saya". Kecuali dalam kisah dengan banyak tokoh yang berbeda karakter.
Tatkala Anda menata kalimat dan menyusun alinea, perhatikan tanda baca. Apakah peletakan titik (.) atau koma (,) sudah tepat? Apakah tanda seru (!) atau tanda tanya (?) sudah taat asas? Apakah tanda hubung (-) atau tanda pisah (--) sudah benar?
Ups, jangan pusing. Santai saja. Kalau perlu seduh kopi atau teh dan siapkan camilan (ragam takbaku: cemilan). Kemudian, silakan Anda simak contoh (1) berikut.
Demi meningkatkan ketrampilan menulis, teman teman bisa mengikuti Kelas Menulis Kreatif yang diselenggarakan oleh Kopitulis. Teman teman bisa bergabung tanpa harus keluar duit . Banyak materi-materi yang berharga dan berguna demi karir teman-teman. Tunggu apalagi ,buruan daftar!.
Hasil swasunting (1):
Demi meningkatkan keterampilan menulis, teman-teman bisa mengikuti Kelas Menulis Kreatif yang akan diselenggarakan oleh Kopitulis. Kalian dapat bergabung tanpa harus keluar duit. Banyak materi berharga yang berguna bagi karier kalian. Tunggu apa lagi, buruan mendaftar!
Berdasarkan contoh (1) di atas, ada beberapa hal yang dapat kita lahap. Pertama, kejelian memilih kata. Penulisan yang tepat adalah keterampilan, dari kata dasar terampil. Begitu juga dengan karier, bukan karir. Pada kalimat kedua, subjek teman-teman bisa kita ganti dengan kalian sebagai variasi.
Adapun kata bisa ditukar dengan dapat supaya selaras dengan duit pada akhir kalimat, sekaligus sebagai variasi kata bisa yang sudah muncul pada kalimat sebelumnya. Sementara itu, banyak dan materi-materi merupakan bentuk jamak, jadi gunakan salah satunya saja. Bisa banyak materi, boleh materi-materi.
Terakhir, makna apalagi adalah 'membandingkan dua situasi atau kondisi'. Misalnya: Dia saja ditolak, apalagi aku. Dalam contoh (1), penggunaan apalagi tidak cocok dengan konteks kalimat. Mestinya menggunakan apa lagi untuk menegaskan agar pembaca tidak berpikir panjang lagi.
Kedua, kepatuhan menggunakan tanda baca. Pada contoh (1) terdapat kata ulang yang ditulis teman teman. Penulisan kata ulang harus menggunakan tanda hubung (-). Jadi, teman-teman.
Simak pula ihwal penggunaan tanda titik dan tanda koma pada contoh (1). Tanda titik dan tanda koma rapat dengan kata yang diikutinya. Tidak didahului spasi, tetapi diikuti spasi. Perhatikan perbaikan pada [duit. bukan duit .] dan [apa lagi, buruan bukan apa lagi ,buruan].
Terakhir, pada tanda seru (!) sudah ada tanda titik. Demikian juga dengan tanda tanya (?). Jadi, tanda seru dan tanda tanya tidak perlu diikuti tanda titik pada akhir kalimat. Itu hal receh yang sering dilakukan oleh para bloger.
Kejernihan Gaya dan Tata Bahasa
Bambang Trim (2005, 34) menandaskan bahwa ada dua keputusan penting dalam penyuntingan, yaitu perbaiki atau abaikan. Oleh karena itu, swasunting kita lakukan tetap dalam koridor menjaga kualitas tulisan. Dengan demikian, swasunting bahasa, pesan, logika, dan keindahan kalimat harus sesuai dengan mekanisme penyuntingan.
Jika pesan dalam kalimat sudah tergambar atau terhampar dengan jelas maka tidak perlu disunting. Bagian yang sudah jernih gaya paparnya dan jelas tata bahasanya, biarkan saja. Jangan mengubah (bukan merubah) substansi yang benar menjadi salah.
Itu sebabnya swasunting harus melewati proses berpikir yang matang sebelum mengambil keputusan. Proses swasunting tersebut, dalam udaran Bambang Trim (2005, 3), melalui fase membaca, memahami, dan memaknai. Simak contoh (2) di bawah ini.
Raja Leluasa bangkit dari takhta dan berkata: "Setiap aku melewati perkampungan, jangan ada seorang pun yang berdiri tegak. Semua orang harus menjura dan seluruh sesepuh mesti merunduk ke bumi, dan tunduklah mereka pada karisma dan kuasaku. Jangan pula saling bisik atau saling sapa satu sama lainnya".
Hasil swasunting (2):
Raja Leluasa bangkit dari takhta dan berkata, "Setiap kulewati perkampungan, jangan ada seorang pun yang berdiri tegak. Semua orang harus menjura dan seluruh sesepuh mesti merunduk ke bumi, sehingga tunduklah mereka pada karisma dan kuasaku. Jangan pula saling bisik atau saling sapa satu sama lain."
Berdasarkan contoh (2) di atas, ada beberapa perkara yang perlu kita cerap. Pertama, keliru menggunakan konjugasi "dan". Begini. Konjugasi adalah sistem perubahan bentuk verba yang berhubungan dengan jumlah, modus, waktu, dan jenis kelamin.
Tunggu, jangan puyeng. Pada kalimat kedua dalam contoh (2) terdapat konjugasi berupa perubahan sebab-akibat. Semua orang merunduk mengakibatkan mereka tunduk. Karena konjugasinya dalam kalimat bertingkat maka penggunaan "dan" keliru.
Konjugasi "dan" digunakan untuk kalimat setara, padahal contoh (2) menunjukkan kalimat bertingkat yang bermakna sebab-akibat. Konjugasi yang tepat digunakan adalah "sehingga" karena menegaskan sebab-akibat. Silakan Anda baca lagi perbaikannya.
Kedua, keliru memakai partikel. Pada contoh (2) terdapat penggunaan partikel --nya, yakni pada satu sama lainnya. Partikel -nya di sana tidak jelas merujuk pada apa dan siapa. Jadi, sebaiknya tidak digunakan demi keefektifan bahasa.
Ketiga, keliru membubuhkan tanda baca. Zainal Arifin dan S. Amran Tasai, dalam Cermat Berbahasa Indonesia: untuk Perguruan Tinggi (2004, 209), menguraikan cara menulis petikan langsung. Guna memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat maka kita menggunakan koma, bukan titik dua seperti dalam contoh (2).
Pada akhir kalimat, tanda kutip diterakan setelah tanda titik karena mengapit kutipan langsung. Bukan sebaliknya, tanda kutip dulu baru tanda titik. Supaya lebih jelah (jernih dan jelas), silakan baca kembali hasil swasunting (2).
Kerenyahan dan Kegurihan
Banyak bloger yang senang menggunakan ragam cakapan, sebutan lain lazim dinamai bahasa gaul, dalam tulisan yang diagihkannya kepada pembaca. Tentu saja tidak masalah, yang penting pembaca mengerti apa yang kita tulis.
Namun, bukan berarti menggunakan ragam resmi alamat tulisan kaku. Belum tentu. Kecerdasan gramatikal dan kemahiran memilih kata justru lebih menentukan dibanding terlalu mengagulkan bahasa gaul.
O ya, saya sendiri cenderung memilih kata baku walau tidak jarang juga menggunakan kata takbaku. Apakah tulisan saya kaku sehingga tidak gurih dibaca dan tidak renyah dicerna? Hanya pembaca yang bisa merasakan dan menjawabnya.
Terkait kegurihan dan kerenyahan tulisan, itulah faedah swasunting. Lewat swasunting, kita dapat memperbaiki semua kesalahan. Kalimat yang membingungkan kita perbaiki. Kalimat panjang yang rancu dan bertele-tele kita pangkas dan benahi.
Selain itu, keliru menggunakan kata dan tanda baca berarti kita, sengaja atau tidak, turut serta mengampanyekan penggunaan bahasa Indonesia yang buruk dan salah. Padahal, narablog mestinya ikut menganjurkan atau mencontohkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H