Ketiga, keliru membubuhkan tanda baca. Zainal Arifin dan S. Amran Tasai, dalam Cermat Berbahasa Indonesia: untuk Perguruan Tinggi (2004, 209), menguraikan cara menulis petikan langsung. Guna memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat maka kita menggunakan koma, bukan titik dua seperti dalam contoh (2).
Pada akhir kalimat, tanda kutip diterakan setelah tanda titik karena mengapit kutipan langsung. Bukan sebaliknya, tanda kutip dulu baru tanda titik. Supaya lebih jelah (jernih dan jelas), silakan baca kembali hasil swasunting (2).
Kerenyahan dan Kegurihan
Banyak bloger yang senang menggunakan ragam cakapan, sebutan lain lazim dinamai bahasa gaul, dalam tulisan yang diagihkannya kepada pembaca. Tentu saja tidak masalah, yang penting pembaca mengerti apa yang kita tulis.
Namun, bukan berarti menggunakan ragam resmi alamat tulisan kaku. Belum tentu. Kecerdasan gramatikal dan kemahiran memilih kata justru lebih menentukan dibanding terlalu mengagulkan bahasa gaul.
O ya, saya sendiri cenderung memilih kata baku walau tidak jarang juga menggunakan kata takbaku. Apakah tulisan saya kaku sehingga tidak gurih dibaca dan tidak renyah dicerna? Hanya pembaca yang bisa merasakan dan menjawabnya.
Terkait kegurihan dan kerenyahan tulisan, itulah faedah swasunting. Lewat swasunting, kita dapat memperbaiki semua kesalahan. Kalimat yang membingungkan kita perbaiki. Kalimat panjang yang rancu dan bertele-tele kita pangkas dan benahi.
Selain itu, keliru menggunakan kata dan tanda baca berarti kita, sengaja atau tidak, turut serta mengampanyekan penggunaan bahasa Indonesia yang buruk dan salah. Padahal, narablog mestinya ikut menganjurkan atau mencontohkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H