Samar-samar terlihat ada unsur "pemaksaan", dalam hal ini pemaksaan berkarya, terhadap penulis yang selama ini bertungkus lumus di dunia kreatif. Patut dicamkan, tidak sedikit penulis yang menulis sesuka hatinya saja. Patah hati baru punya inspirasi. Jatuh cinta baru gencar menata cerita.
Dunia kreatif jelas membutuhkan orang-orang yang kreatif. Agar kreatif, seorang penulis mesti imajinatif dan inovatif. Jika mood masih dijadikan tameng berarti masih jauh dari hakikat kreatif. Pada titik inilah saya menyukai gaya Bekraf dalam "mencambuki semangat peserta".
Bagaimana hasilnya? Ya, sabar dulu. Kita tunggu proses kreatif 50 penulis terpilih itu. Bekraf tentu saja punya formula atau format pemantauan dan pengawalan, setidaknya agar anggaran yang ditebarkan selama empat hari tidak berakhir sia-sia.
Saya diamanati mengulas pernak-pernik bahasa Indonesia. Andaikan tentara, penulis mesti kenal senjata yang akan ia gunakan. Senjata penulis adalah bahasa dengan kata-kata selaku pelornya. Akan tetapi, bahasa Indonesia bukan jenis senjata yang mudah dikuasai.
Faktanya begini. Tidak sedikit penulis yang kedodoran dalam menyusun kalimat efektif atau keteteran dalam memilih kata. Bahkan, ada penulis yang kelimpungan memakai tanda baca. Dari situlah materi saya bertumpu. Akan tetapi, saya bukan pemateri yang baik dan bajik. Selama empat jam saya berondong peserta dengan tiga gugatan berikut.Â
Pertama: Menulis dalam bahasa Indonesia, tetapi tidak paham bahasa Indonesia. Terus, kalian mau serahkan semuanya kepada editor? Menguasai bahasa Indonesia bukan sekadar paham ejaan dan pekerjaan editor bukan hanya memeriksa ejaan. Jauhkan pendapat demikian sejauh-jauhnya.
Penulis harus mampu menulis dalam tataran redaksional yang gurih dibaca dan renyah dicerna. Perkara ini lumrah disebut keterbacaan (readability). Tulisan yang gurih dibaca akan memicu pembacaan yang menyenangkan, sedangkan tulisan yang renyah dicerna akan memacu penelaahan yang mengenyangkan.
Penulis juga harus sanggup memadukan kata demi kata dalam satu kalimat, antarkalimat dalam satu paragraf, antarparagraf dalam satu bab, dan seruntun bab dalam serangkai cerita yang runut. Dengan demikian, lubang-lubang penulisan atau bolong-bolong penceritaan terhindarkan.
Belum lagi ketepatan data dan fakta. Jika kita cantumkan dalam tulisan bahwa Indonesia merdeka pada 17 September 1945, itu jelas kesalahan data yang niscaya menyulut kekeliruan fakta. Dalam dunia kepengarangan, perkara seperti itu disebut anakronis.
Suka tidak suka, penulis harus mengenali dan menguasai bahasa Indonesia. Seorang peserta menceletuk, "Saya merasa gagal menguasai bahasa Indonesia."
Kedua:Â Membedakan 'bila' dan 'apabila' saja keteteran, apalagi membedakan 'proses' dan 'hasil'. Mau yang instan? Rebus mi saja! Dua kata tersebut, bila dan apabila, hanya sekadar contoh. Selain itu ada suatu dan sesuatu, berapa dan beberapa, atau demikian dan sedemikian.