Di atas kertas, sebenarnya kita punya peranti hukum terkait oposisi. Sesuai dengan Pasal 7a dan 7b Undang-Undang Dasar 1945 (hasil amandemen), DPR dapat mengajukan pemberhentian kepada MPR ketika Presiden melakukan pelanggaran HAM berat, tindak pidana kriminal, melanggar haluan negara, serta penyuapan.
Meski demikian, mengutip pendapat Subekti (2008, 373), prosesnya rumit karena harus melalui pemeriksaan Mahkamah Konstitusi. Dengan kata lain, peluang pemakzulan presiden sangat kecil. Hal itu mengkhawatirkan karena dapat memicu kebuntuan politik (political deadlock), gara-gara tidak ada jalan keluar yang memungkinkan Pemerintah diberhentikan oleh parlemen.
Apa kehadiran oposisi bermanfaat? Jelas bermanfaat. Setidaknya ada dua manfaat oposisi. Pertama, melalui fungsi kontrol dan perimbangan, kekuasaan parlemen dicegah menjadi sebatas “membebek” pada pendapat atau kebijakan eksekutif.
Kedua, kekuatan oposisi dalam tubuh parlemen, jika benar-benar mampu menjadi kekuatan penyeimbang, justru dapat mengatrol kualitas pengawasan parlemen terhadap eksekutif. Lagi pula, konstitusi negara kita tidak pernah mengharamkan oposisi karena sistem oposisi merupakan salah satu ciri dari negara demokrasi.
Apa hubungannya dengan Pak Jokowi? Jelas ada hubungannya. Kalau Pak Jokowi menarik PAN dan PD ke dalam KIK, kekuatan oposisi pasti tergerus. Pak Jokowi bakal menguasai kira-kira 80% kursi di parlemen. Sungguh sangat kuat untuk membendung riak perlawanan, sekaligus mengikis peluang kontrol dari oposisi.
Apatah lagi kalau sampai menarik Gerindra. Alamat terancam keselamatan dan keberlangsungan demokrasi, sebab tidak ada oposisi di parlemen. Kondisi demikian sangat berbahaya. Maka dari itu, baik Pak Jokowi maupun Gerindra harus meyakini bahwa kekuatan oposisi dapat menjaga pelaksanaan negara demokrasi berjalan dengan baik dan demokratis.
Pak Jokowi Butuh Lawan Tangguh, Bukan Lawan Tanggung
Negara kita belum termasuk dalam kaum negara demokrasi modern. Jadi, tidak usah heran apabila pihak oposisi cenderung memahami laku oposan sebagai "asal berbeda" atau "asal berbicara". Akibatnya lebih dekat dengan "biang ribut" dibanding penyeimbang (balancer). Selain mengoceh di media massa, pihak oposisi juga getol "asal berbicara" di media sosial.
Selain itu, masyarakat kita masih labil. Secara psikologis, masyarakat kita belum dewasa dalam berbeda pendapat. Tidak heran apabila banyak yang menderita fanatisme buta. Masyarakat kita juga belum mahir memproduksi kekuatan melawan (contravailing forces). Kalaupun ada, sifatnya sporadis. Tiada beda dengan letup api tersiram gerimis. Asap ada, bara tiada.
Timbullah keraguan. Jikalau oposisi lemah, bagaimana kita berharap akan ada oposisi institusional yang efektif dalam mengawasi kewenangan eksekutif?
Setelah reformasi, praktik oposisi memang sedikit membaik, terutama ketika SBY berkuasa dan PDIP membaptis diri sebagai oposan. Hal itu lebih baik dibandingkan dengan keberadaan oposisi pada era Orde Baru. Namun, akan kembali memburuk apabila Gerindra "dirangkul dengan iming-iming kursi menteri".
Mari berandai-andai sejenak. Andaikan MK menolak gugatan Gerindra, mestinya Pak Jokowi teguh pendirian. Seperti kata beliau, "Tidak ada lagi yang saya takuti pada periode kedua." Jadi, jalan saja. Biarkan oposisi menguat supaya kontrol parlemen tetap terjaga.