Kemudian, saya hibur diri sendiri. Barangkali yang dimaksud si netizen adalah Dublin, nama ibu kota sebuah negara di Eropa, tetapi beliau telanjur memencet tombol huruf 'g'. Saya yakin, beliau pasti tidak keliru kata. Alasan saya sederhana. Tidak mungkin seseorang yang dungu berani-berani mendungukan orang lain yang belum tentu dungu.
Meski begitu, hati kecil saya membantah. Penjual sate pasti berteriak "sate". Jadi, ada kemungkinan orang yang mendungukan orang lain adalah orang dungu. Faktanya, memang ada segelintir orang yang ingin disangka pintar dengan cara mendungukan orang lain. Tolong dicamkan, hanya segelintir.Â
Pada Akhirnya
Begitulah. Telah saya uraikan fenomena berbahasa dan berkomentar di media sosial. Ini tulisan receh. Anggap hiburan saja selagi Anda sibuk memburu maaf dan beranjangsana pada suasana Lebaran.
Meski begitu, saya serius membahas hal sereceh atau seremeh ini. Saya percaya bahwa harus ada orang yang serius mengupas soal-soal kebahasaan. Tujuannya demi merawat bahasa Indonesia.
Jadi, jangan marah-marah jika tulisan ini tidak cocok dengan harapan atau pendapat Anda. Daripada marah-marah lebih baik ramah-ramah. Oke? Sip! [khrisna]