Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Balada Celana Jin Kaesang

3 Juni 2019   00:00 Diperbarui: 3 Juni 2019   05:05 14434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia berduka. Ibu Ani Yudhoyono berpulang ke rahmatullah. Beliau mangkat setelah berjuang melawan serangan kanker darah. 

Namun, tulisan ini tidak akan mengudar kegigihan Ibu Ani melawan penyakit. Tidak pula untuk mengulas kesetiaan Pak SBY menemani beliau selama berobat di Singapura. Saya akan membabar obituari buat beliau dalam tulisan berbeda.

Kali ini saya ingin menyingkap gejala maraknya ungkapan kebencian di media sosial. Ungkapan itu membanjir tanpa kenal musim dan suasana. Belum surut duka atas kematian Ibu Ani, ungkapan kebencian terus mengemuka. Selagi orang-orang menyatakan belasungkawa, ada saja yang mengumbar "benci".

Kaesang Pangarep pangkal soalnya. Putra bungsu Pak Jokowi itu datang melayat di Masjid KBRI Singapura. Busananya dianggap tidak patut oleh segelintir warganet. Meskipun ikut antre bersama pelayat lain dan santun dalam tindak laku, semuanya belum cukup untuk membendung nyinyir para pembencinya.

Tidak dapat dimungkiri bahwa sebagian di antara kita masih terjebak pada penampilan luar. Sesantun apa pun seseorang, selama dituding salah kostum, cibiran tetap menerpa.

Beda perkara apabila busana kita megah dan mewah. Petantang-petenteng pun akan dipuja. Beda soal pula jika yang salah kostum saat melayat berasal dari golongan yang sama. Nyinyir reda, cibir tiada.  

Antara Benci dan Cinta
Dalam Group of Psychology and The Analysis of The Ego (1922), Sigmund Freud menyatakan bahwa meraih cinta harus dilakukan dengan cara membenci orang lain.

Jika memakai rumus cocok-cocokan, teori tersebut pas diterakan kepada pihak yang menyinyiri celana jin Kaesang. Akibat cinta kepada Prabowo, segala-gala yang berbau Jokowi niscaya dibenci. Sementara itu, aroma Jokowi dalam sosok Kaesang jelas sangat kental. Jadilah ia target ungkapan kebencian.

Pada sisi lain, Erich Fromm--seorang sosiolog--membantah teori Freud. Dalam bukunya, The Art of Loving (1956), Fromm menandaskan bahwa cinta harus menghadirkan rasa hormat, tanggung jawab, perhatian, dan menyuburkan ilmu pengetahuan. 

Dengan kata lain, cinta tidak boleh diraih dengan cara membenci atau mengorbankan orang lain, sebab cinta seperti itu sangat naif dan egois.

Apabila kita bertumpu pada rumusan cinta ala Fromm, cibiran atas celana jin Kaesang tidak perlu terjadi. Kenapa? Tidak sedikit orang yang bercelana jin ketika melayat. 

Bukan hanya Kaesang yang melakukannya. Jangankan celana jin, seorang elite politik pernah melayat dengan kaus dan celana lari. Pakai kaus kaki pula. Ajaibnya, sang elite itu tidak dikeroyok pasukan penyinyir yang beramai-ramai menghujat Kaesang.

Ingat, konteksnya pada busana.

Media Sosial dan Emosi Negatif
Cinta bisa memicu rasa damai, sedangkan benci dapat memacu sakit hati. Uniknya, banyak di antara kita yang gigih memilih benci. Lebih unik lagi, kebencian itu diumbar di media sosial dan menjadi santapan khalayak. 

Pasukan penebar kebencian itu lupa bahwa ada "sial" dalam "media sosial".

Mustahil gairah nyinyir muncul tanpa stimulus benci. Dari sumur benci akan memancur emosi negatif. Luapannya berupa rasa marah, kesal, curiga, hingga caci maki. Patut dicamkan, emosi negatif sangat mudah tersulut. Rangsangan secuil saja bisa meluapkan benci dan melupakan cinta. Mata gelap, hati buta. Akal buram, budi suram.

Ketika luapan dari sumur benci itu melanda media sosial, surutlah segala kebaikan. Hal baik saja dinyinyiri, apalagi hal buruk. Kebencian lantas meluas melebihi ganasnya penyakit menular, merembet ke benak orang sekaum, merembes ke sanubari, lantas merambat ke mana-mana.

Jika sudah begitu, media sosial menjadi senjata sempurna dalam menebar kebencian. Jika sudah begitu, "media sosial" berubah menjadi "media sial". Semburan emosi negatif itu serta-merta merambah ranah publik dan memengaruhi khalayak. Yang tidak sepakat pasti menyanggah, yang sepakat pasti menambah-nambah. Iklim psikologis seketika memburuk. Itulah sialnya.

Fasilitas berkomentar di media sosial memudahkan pembenci untuk mengumbar kemarahan. Semua diumbar tanpa mengindahkan etika. Sopan terlupakan, santun terabaikan. Alhasil, panggung pertunjukan dikuasai oleh kaum nircinta. Kaum yang sudah kehilangan saringan.

Pada sisi lain, emosi negatif dapat memengaruhi kondisi hati. Jika kebencian ditanggapi dengan cara serupa, cuaca komunikasi dipenuhi polusi marah. Bangunan kesadaran sosial dirobohkan secara kolektif dan masif. Akibatnya fatal karena dapat menyumbat saluran gagasan kreatif.

Sinisme dan Saluran Kritik
Demokrasi memang memastikan kebebasan berpendapat, termasuk di ruang terbuka yang kita namai media sosial. Namun, kebebasan seyogianya tidak diubah menjadi kebablasan. Kebebasan mestinya dijadikan modal besar untuk menggerakkan upaya perbaikan, bukan perusakan.

Sindiran atas celana jin Kaesang jelas bukan kritik cerdas dalam memanfaatkan kebebasan berpendapat. Sindiran itu justru pantulan daki benci yang sudah mengerak di dasar hati. Sindiran tersebut juga bukan bentuk perlawanan simbolik atas ketaksepahaman dengan rezim, melainkan cerminan  kemerosotan akal sehat dan akal budi.

Kebablasan berpendapat itulah yang mengalasi kebiasaan menghujat, mencerca, bahkan mengancam. Iklim berpendapat kian buruk akibat perlakuan penguasa yang cenderung represif. Beberapa pernyataan "pembantu presiden" (baca: menteri) sangat kontraproduktif. Sekadar menyebut contoh, pernyataan Pak Wiranto. Belakangan malah bertindihan dengan pernyataan Pak Ryamizard.

Tatkala pemerintah membatasi pemakaian media sosial, warganet sempat terhambat dalam mengirim foto dan video. Sayang sekali, maklumat pembatasan itu kurang gencar dilakukan sehingga menyulut kemarahan baru. Tidak heran apabila upaya tersebut memanen cerca alih-alih menuai puji.

Indikasi perlakuan berbeda atas perilaku penyebar kebencian di media sosial juga mencuat ke permukaan. Cuitan seorang juru kabar, dari barisan pencinta Jokowi, yang mengumbar identitas orang lain tidak ditanggapi secara serius. Padahal, data pribadi seseorang tidak boleh sesuka hati dipamerkan di ruang publik. 

Kekeliruan menggunakan media sosial tersebut juga perlu diperhatikan dengan saksama agar tidak terjadi opera pilih kasih.

Bagaimanapun, polusi kata di media sosial mesti diatasi. Jangan sampai media sosial menjadi media untuk meluapkan rasa kesal, melampiaskan sakit hati, dan melakukan balas dendam.

Jin, Jins, atau Jeans
Sesungguhnya kebencian itu manusiawi. Rasa benci, seperti cinta, sejatinya merupakan emosi umum yang dimiliki oleh setiap manusia. Hanya saja, cara memperlihatkan rasa benci tidak akan atau tidak pernah sama.

Kecerdasan emosional sangat menentukan dalam menapis persebaran benci. Orang yang arif pasti menyadari bahwa emosi negatif, berupa ketaksukaan, yang disebarkan secara serampangan ke publik dapat memicu konflik.

Gail dan Richard Murrow dalam paparannya, A Valid Question: Could Hate Speech Condition Bias in The Brain, dengan lugas menyatakan bahwa kebencian dapat menghilangkan harkat manusia, memunculkan bias, dan mengurangi empati.

Begitulah kondisi cuaca di media sosial dewasa ini. Tidak sedikit orang yang kehilangan empati. Cibiran terhadap Kaesang hanyalah sejawil dari setimbun ungkapan kebencian. Akibat memakai celana jin ia menuai hujatan.

Untung saja, pedagang pisang berbadan tegap itu menimpali hujatan dengan santun. Ia bahkan meminta maaf kepada netizen yang mengolok, mencaci, atau memakinya. Ia setia menebar cinta.

Semua bermula dari celana jin. 

Mengapa saya memakai kata "jin"? Tidak usah heran. Memang begitulah penulisan yang tepat. Bukan "jeans". Apalagi "jins". Celana "jin", ya, tidak pakai "s". [khrisna]

Rujukan:

1. Tribunnews. 2 Juni 2019. Kaesang Pangarep Melayat. 

2. Erich Fromm. 1956. The Art of Loving. New York: Harper.

3. Gail B Murrow dan Richard Murrow. Maret 2016. A Valid Question: Could Hate Speech Condition Bias in The Brain. Journal of Law and the Biosciences.

4. Sigmund Freud. 1922. Group of Psychology and The Analysis of The Ego. London: Psycho-Analytical Press.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun