Tiga kisah di atas hanyalah secuil dari sekian cuil insiden hina-menghina di lapangan hijau. Hinaan terhadap sosok, terutama ibu dan saudara perempuan, juga paruh kecil saja dari bagian besar caci-mencaci.
Bahkan, ejek-mengejek tidak hanya terjadi antara pemain dengan pemain, atau dari pemain kepada wasit, karena acap pula terdengar nyanyian suporter yang beraroma rasis atau fasis kepada pemain lawan. Belum lagi perseteruan antarsuporter. Uh, dahsyat sekali.
Di luar lapangan sepak bola juga sering terjadi ejek-mengejek yang berujung pada "sakit hati tak berkesudahan". Pilpres dan Pileg, misalnya, tak dinyana memerosotkan perangai kita sampai tega hina-menghina. Sapaan buruk menjadi kebiasaan, mengumbar aib orang menjadi hobi, dan fitnah tiba-tiba menjadi profesi.
Lebih fatal lagi, tak jarang ada orang yang dengan sengaja menghina ibu orang lain demi meraup puja-puji. Ada pula yang berniat membakar hati orang, eh, malah sewot dan membakar jenggot sendiri. Sindir-menyindir dengan kubu lawan ternyata belum cukup, lalu terjadilah kuak-menguak aib kawan sekubu. Ajaib nian!
Jauh lebih fatal lagi, di luar perkara politik, ada yang tanpa sengaja atau dengan sengaja menghina ibunya sendiri. Yang telah dewasa membentak ibunya yang sudah renta dan rentan terluka, yang masih muda membantah ibunya karena merasa tahu zaman dan lebih kekinian.
Semoga kita semua, baik yang menghina maupun yang dihina, tidak lupa bahwa kita pernah mendekam berbulan-bulan lamanya di dalam rahim ibu. Semoga kita menyadari hal itu sebelum kita menerima "kartu merah" dari Tuhan. [khrisna]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H