Saya suka matanya. Jenis mata yang teduh dan meneduhkan, yang teguh dan meneguhkan. Kalaupun marah, matanya bukan bara yang menyala-nyala dan membakar apa saja yang berada di sekitarnya. Itu sebabnya saya jatuh cinta kepadanya.
Hanya saja, matanya bukan satu-satunya alasan mengapa saya ingin menghabiskan sisa hidup bersamanya. Sungguh. Ada hal lain yang tiada tertakar, yakni caranya mencambuk semangat saya: sesekali datar dan hambar; sesekali melecut dan membakar.
Amel Widya namanya. Rasa-rasanya saya tidak akan segesit ini menulis jikalau bukan dia yang berada di sisi saya. Ini bukan perkara tulang rusuk yang tersua, bukan. Ini perihal bagaimana seseorang dapat membuat hidup saya berasa semakin hidup. Begitulah mestinya kalian mencari pasangan. Bukan hanya rela seranjang sepedihan, melainkan juga berani sepandang sepikiran.Â
Namun, bukan itu yang hendak saya udar lewat tulisan ini. Bukan pula bagaimana kami berjodoh atau apa saja yang telah kami lalui bersama, bukan. Saya ingin bercerita tentang bagaimana trik mencari jodoh. Bila di antara kalian ada yang masih menjomlo, silakan membeliak supaya tidak melewatkan barang sekata saja.
Baiklah. Kita mulai saja trik luar biasa dan sangat penting ini.
Tunggu, kita mundur dulu ke tahun 2011, tahun ketika saya menjadi warga Negeri Twitter. Di negeri para juru kicau itulah saya bertemu dengan teman saya yang penyunting di sebuah penerbitan itu. Bahasa Indonesia gara-garanya. Saya memang demam berkicau tentang bahasa Indonesia di Negeri Twitter. Naga-naganya teman saya itu mencium aroma pasar dari cuitan-cuitan saya.
Sekarang kita balik lagi ke tahun 2015. Setelah berbasa-basi, teman saya menanyakan apakah cuitan saya tentang bahasa Indonesia bisa dikumpulkan dan disusun menjadi sebuah buku. Sebagai seorang penulis, pasti saya mengangguk. Apa susahnya menulis sesuatu yang kita sukai? Tidak ada. Saya selalu yakin bahwa menulis sesuatu yang kita cintai akan menghasilkan cinta tiada tara. Kenapa? Karena segala-gala yang tumpah dari belanga imajinasi sejatinya adalah cinta.
Lantaran kehadiran pepuja hati, buku yang saya tulis rampung nyaris sebelum satu bulan terlewati. Meski begitu, karena buku itu terkait bahasa Indonesia, saya membacanya berkali-kali. Bahkan Amel juga turut memeriksa. Buku itu saya namai Pernak-pernik Bahasa Indonesia.
Nahasnya, naskah yang sudah rampung itu kehilangan jodoh. Pinangan yang telah diterima malah tidak ketahuan ujung pangkalnya. Pernikahan antara buku dan penerbit urung begitu saja. Selaku "orangtua ideologis", saya hampir putus asa. Bahkan pernah berniat menghapus dan membuang naskah tersebut andai kata tidak dicegah oleh si pepuja hati.
Sudahlah. Kita tinggalkan saja kisah naskah yang kehilangan jodoh itu.Â