Dari situ kita dapat mengenang petuah Om Nukman. Kita petik buahnya, kita peras sarinya, dan kita alurkan ke sekujur tubuh bersama aliran darah. Sebagai warga dari negeri yang tengah berkembang ini, seyogianya kita tiada henti menabur kebaikan. Termasuk di media sosial. Tiada henti, laksana Om Nukman yang terus-menerus menebar kebaikan hingga beliau mangkat.
Media sosial, apa pun namanya, sejatinya adalah tempat yang asyik bagi kita untuk membela negara. Tentu banyak cara yang dapat kita lakukan. Menghujat boleh, selama bertumpu pada hasrat besar bagi kemajuan bangsa. Menggugat boleh, selama beranjak dari gairah akbar demi kemakmuran bangsa.
Inilah warisan Om Nukman bagi kita semua, anak-anaknya, yang telah mendarahdagingkan media sosial dalam hidup sehari-hari: Salah satu wujud bela negara yang paling mudah, tetapi tidak sepele, adalah membanjiri media sosial dengan hal positif.
Bagi kita yang ditinggalkan, warisan itu mesti lekat dalam ingatan, rekat pada perilaku, serta erat di dalam tabiat bermedia sosial. Beliau boleh pergi, tetapi kehadirannya selalu terasa. Kematian hanya memindahkan jasad beliau ke alam yang berbeda dengan kita. Namun, kematian tidak pernah memisahkan gagasan-gagasan baik beliau dari kita yang ditinggalkan.
Kedua, gunakanlah media sosial dengan arif. Menyakiti itu mudah, menyembuhkan itu susah. Tidak ada yang bisa menyaring apa saja yang hendak kita bagikan di linikala selain diri kita sendiri. Tidak ada yang sanggup menahan semburan kata yang akan kita sebarkan di linimasa kecuali diri kita sendiri. Maka, kitalah penguasa yang berkuasa atas akun media sosial kita.
Berkenaan dengan hal tersebut, media sosial sejatinya merupakan cerminan diri kita, wujud kepribadian kita, atau fakta lamat-lamat dari perangai kita. Yang gemar mencaci akan terpantul dari permukaan cermin sebagai pencaci. Yang gemar memaki akan terpajang di permukaan cermin sebagai pemaki.Â
Pendek kata, kita leluasa memilih hendak menjadi apa.
Media sosial itu jendela kecil untuk menafsir siapa kita, rawatlah demi masa depan yang lebih baik. Ya, petuah itu perlu kita resapi dan resahi. Kita resapi agar menjadi fondasi, kita resahi agar menjadi cermin.
Bagaimanakah tabiat kita, selama ini, dalam bermedia sosial? Apa saja yang sudah kita perlihatkan kepada penghuni jagat digital lain melalui jendela kecil yang kita biarkan tersingkap? Adakah tafsir baik yang berkelindan di benak orang-orang?
Sekali lagi, kitalah penguasa di akun media sosial kita. Malahan penguasa tunggal. Penduduk media sosial yang lain boleh saja menapis, menyaring, atau bahkan membuang hal-hal buruk yang kita sebar. Namun, jejak yang kita tinggalkan sulit hilang sekalipun sekalimat umpatan telah kita hapus dari linikala.