11. Kesedihan ketiga. Kita hidup di orde reformasi, tetapi alat negara mengancam kebebasan berdemokrasi. Ini bukan soal buku kiri atau kanan, melainkan cara kita memperlakukan hasil kerja intelektual. Sedihnya, razia buku yang dilakukan oleh TNI AD tiada berbeda dengan "perampokan kebebasan berpendapat".
12. Kesedihan keempat. Apa pun isi bukunya, entah kiri entah kanan, tidak bisa disita karena asal duga. Buktikan pelanggarannya di pengadilan. Pihak yang rugi bukan cuma penulis, penerbit, dan toko buku, melainkan bangsa kita. Bagaimana kita akan mencerdaskan bangsa kalau tradisi merazia buku kita kembang suburkan?
Sebagai penulis, saya sedih melihat kebiasaan merazia buku yang dilakukan begitu saja tanpa melalui proses pengadilan. Apalagi bila dilakukan oleh alat negara. Sudah pajak buku besar, pajak kertas tinggi, buku perasan pikiran disita pula. Bingung dan sedih. Membingungkan sekaligus menyedihkan.
Akan tetapi, biarlah saya saja yang bingung dan sedih. Sudahlah, sungguhpun sempat terbetik di benak saya untuk menyerukan "Bersatulah Penulis dan Pegiat Perbukuan di Indonesia", sia-sia saja selama tabiat preman melekat di aparat negara.Â
Doakan saja supaya razia buku yang tidak sah tidak terjadi lagi. Doakan pula supaya pihak TNI AD berkenan mengklarifikasi aksi razia buku tersebut.
Tabik. Dari warga negara yang sedang bingung dan sedih. Khrisna Pabichara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H