Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gagal Paham Razia Buku

10 Januari 2019   14:27 Diperbarui: 10 Januari 2019   15:49 1511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

6. Kebingungan kedua. MK memutuskan bahwa penyidikan, penggeledahan, atau penyitaan buku harus dilakukan sesuai ketentuan hukum, yakni melalui perintah pengadilan dan tidak dilakukan dengan sewenang-wenang. 

Semoga butir keenam di atas cukup jelas dan tercerap maknanya. Pertanyaan baru sontak menyembul di benak saya: Apakah petugas TNI AD yang merazia buku membawa surat perintah, sebut saja Surat Perintah Penyitaan, dari lembaga peradilan?

Tentu bukan kita yang bisa menjawabnya. 

7. Kebingungan ketiga. Andaipun razia buku dan penyitaan itu dilakukan atas perintah dari Ketua Pengadilan setempat, apakah Surat Perintah Penyitaan sudah melalui proses pengadilan? Kalau belum, penyitaan itu tindakan konyol. Mengapa konyol? Karena tindakan sedemikian tidak menghargai negara kita sebaga negara hukum.

8. Kebingungan keempat. Bahkan andaikan TNI AD membawa Surat Perintah Penyitaan, tindakan merazia buku tersebut tetap merupakan penyitaan yang tidak sah. Mengapa? Karena TNI AD, juga TNI AU dan TNI AL, tidak memiliki kewenangan untuk menggeledah, menyidik, atau menyita buku.

Kecuali petugas Pengadilan meminta bantuan tentara dan polisi, barulah tentara atau polisi boleh turun tangan. Namun, rasanya agak berlebihan jikalau tentara harus turut campur. Kendatipun buku di sita, karyawan atau pemilik toko buku tidak akan melakukan aksi perlawanan yang brutal. 

Tidak heran bila saya bersedih.

9. Kesedihan pertama. Alasan penyitaan karena "dugaan pelanggaran" terhadap TAP MPR No. XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI. Ini alasan yang bias. Sangat sumir. Kalau begini caranya, tentara dan polisi bisa seenak udel menyita buku. Cukup dengan praduga mengancam ketertiban umum, sebuah buku sudah bisa disita. Kesannya jadi norak dan cemen.

Bawa buku yang diduga "dapat mengancam ketertiban" itu ke pengadilan. Singkap segalanya di situ. Biarkan penulisnya membela diri dan gagasannya. Pendek kata, uji dugaan itu. Kalau memang terbukti melanggar barulah disita. 

Ini langsung main sita. Alat negara kok melawan hukum. Ajaib!

10. Kesedihan kedua. Sungguhpun satu buku terbukti melanggar dan mesti disita, eksekusi penyitaan tetap wewenang petugas pengadilan. Bukan kerjaan tentara. Mestinya TNI AD bersikap hati-hati dan tidak gegabah, apalagi sampai main razia buku secara sembrono atau tidak sah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun