Mengapa tulisanmu dipajang di Kompasiana? Bukankah bisa dikirim ke koran atau majalah atau medar (media daring) yang menyediakan honor? Buat apa menulis kalau tidak dibayar?
Sebelum bercerita tentang keseruan Kompasianival 2018, saya ingin curhat sejenak. Anggap saja pelepasan unek-unek supaya dada berasa lega.Â
Tiga pertanyaan, pada mukadimah tulisan ini, kerap dijejalkan ke telinga saya oleh rekan penulis. Bahkan, gencar sekali saya dengar pada bulan-bulan awal saya rutin menulis di Kompasiana.Â
Saya punya banyak jawaban atas ketiga pertanyaan tersebut, tetapi biasanya saya memilih diam dan tersenyum ketika ditanya. Saya tahu bahwa diam adalah emas walau diam bukan jenis emas yang bisa dibawa ke pegadaian. Saya tahu bahwa tersenyum itu ibadah meski senyum saya lebih cocok disebut cengengesan.
Hitung-hitung menetralisasi semburan tanya, berikut saya suguhkan tiga jawaban.
Pertama, menyasar lebih banyak pembaca. Kompasiana adalah blog platform dengan ratusan ribu anggota. Itu alasan mengapa saya memilih Kompasiana. Pembaca di Kompasiana sudah jelas dan banyak.Â
Salah satu tujuan saya menulis adalah mengampanyekan bahasa Indonesia. Makin terbaca makin bagus. Lagi pula, kita tidak bisa memungkiri bahwa generasi zaman kiwari lebih senang memelototi gawai daripada membelalaki koran.
Kedua, bayaran tidak mesti berbentuk uang. Tulisan yang dibayar dalam uang tentu menyenangkan, tetapi itu bukan segala-galanya. Ketika tulisan kita dibaca dan berguna bagi orang lain, itu bayaran yang luar biasa. Manakala tulisan saya menggugah dan mengubah kebiasaan keliru berbahasa Indonesia, itu bayaran yang tidak tepermanai.
Ketiga, biar tulisan lebih awet. Karena bersifat daring, artikel bahasa Indonesia yang saya pajang di Kompasiana setiap waktu dapat dilongok dan dibaca, beda nasib jikalau tulisan itu dimuat di koran. Bagaimanapun, seawet-awetnya seseorang menyimpan koran ada masanya berpindah ke tangan tukang loak.
Itulah tiga alasan mengapa saya memilih Kompasiana. Sederhana, kan?