Setelah Pak Anies, giliran Menteri Ketenagakerjaan yang naik ke panggung--bukan "naik ke atas panggung" seperti celoteh pewara karena "naik pasti ke atas". Menjelang akhir cuap-cuap Pak Hanif Dhakiri yang menarik dan menggugah, saya menyingkir ke Zona Kompasiana.
Di situlah saya bertemu dengan Bugi Sumirat dan Arif Rahman (Kompasianer dari Makassar), Babeh Helmi (Bekasi), Pringadi Abdi (Depok). Ada pula Nursini Rais (Jambi), serta Yon Bayu dan Yayat. Kemudian, muncul Nurullah (COO Kompasiana) yang sempat berbisik supaya saya tetap di lokasi hingga malam. Bisikan yang membuat saya sedikit tercengung.
Tidak lama berselang, Pak Hanif bergabung di Zona Kompasiana. Seingat saya, putra mantan TKW yang kini menjabat Menteri Ketenagakerjaan itu memang tergolong "juru isap" (saya kurang suka istilah "ahli isap" sebab merokok bukan keahlian).Â
Suasana obrolan sungguh hangat dan bersahabat. Segala rupa kami bincangkan. Dari yang bebas ditulis hingga yang "hanya untuk kita saja". Namun yang paling lekat dalam ingatan saya adalah "kolaborasi atau mati", slogan sederhana yang juga beliau ucapkan di panggung saat berceramah. O ya, Â tulisan tentang beliau dan obrolan seru kami akan saya tulis terpisah.
Lalu, saya bertemu penggawa Kompasiana yang paling sering saya recoki: Harry dan Kevin. Ada seorang lagi yang kerap saya cecar pertanyaan, Christo, tetapi kami tidak sempat bertemu. Akhirnya kongkow di Zona Kompasiana bubar menjelang Magrib.
Saya dan Pringadi pindah ke depan panggung. Di sanalah saya bertemu Kompasianer yang sangat rajin mengunggah puisi, Mas Mim. Beberapa jenak kemudian, Yon Bayu bergabung dengan kami. Obrolan pun meluncur kian kemari, tak tentu arah, dan tidak jelas juntrungannya.
Kami terus mengobrol hingga tiga pewara meminta penghadir untuk merapat ke depan panggung karena peraih Anugerah Kompasiana 2018 akan segera diumumkan.Â
Sebagai junior di Kompasiana yang baru bergabung tahun 2006, eh maaf, 2016, saya santai-santai saja dan tahu diri. Tulisan saja baru 193. Itu pun 43 di antaranya tentang bahasa Indonesia. Jadi, tidak ngarep banget. Akan tetapi, tidak akan menolak kalau terpilih. Malahan bersyukur.
Kusala tersebut merupakan kemenangan bahasa Indonesia.Â
Mengapa demikian? Saya menerima penghargaan gara-gara artikel tentang bahasa Indonesia. Sungguhpun pengelola Kompasiana mendaulat saya selaku penulis politik bergaya satire (bukan satir, kurang 'e' berbeda makna), saya tetap pada niat semula saat masuk ke Kompasiana.