Setelah saya, tampil Panusunan Simanjuntak dalam puisi berbahasa Batak. Beliau pemenang Anugerah Rancage 2018. Beliau bertutur tentang kisah kejadian Danau Toba dengan ekspresi yang memesona. Tepuk tangan membahana tatkala beliau tiba pada kata terakhir.
Gugun Nancy Simanungkalit tampil membawakan monolog berbahasa Batak di akhir acara. Cerpen yang ia bacakan merupakan karya Ita Siregar yang diterjemahkan ke bahasa Batak oleh Saut Poltak Tambunan. Petikan kecapi, dentum gendang, dan liuk suling mengiringi monolognya.
Acara yang dirancang tuntas pada pukul 12.30 ternyata baru usai pada pukul 14.00 WIB. Saya kembali ke panggung sebagai penutup seluruh rangkaian acara. Kolaborasi dadakan antara musik Batak, Martahan Sarune Sitohang, dan puisi Makassar pun tersaji. Tanpa latihan, tanpa koordinasi. Meski begitu, penonton berdiri tatkala kami selesai menyuguhkan pertunjukan.
Setelah acara tuntas, di sela suasana makan siang yang telat tetapi akrab, pikiran saya kembali mengembara. Terbayang acara seperti ini rutin digelar. Terbayang yang hadir bukan orang-orang berkepala putih, melainkan pelajar tingkat dasar dan sekolah menengah.
Bahkan sempat tebersit gagasan menerbitkan puisi-puisi berbahasa daerah. Itu juga kalau Perpustakaan Nasional RI sudi memfasilitasi kegiatan itu.
Kemudian, puisi-puisi terpilih diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Bukunya dikemas menarik dan memukau. Lalu, cetakannya disebar ke seantero Nusantara atau dibagikan dalam bentuk buku-el (buku elektronik, bukan e-book dalam bahasa Indonesia).
Akan tetapi, saya sadar bahwa angan-angan saya sungguh berat untuk diwujudkan. Siapalah kini yang peduli pada bahasa daerah! []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H