Padahal, menerbitkan karya sastra daerah tidak lagi serumit dahulu. Menurut Lucya Damayanti, dari Perpusnas RI, pengurusan ISBN kini bisa dilakukan secara pribadi atau oleh perorangan. Jika tiada penerbit yang melirik, bolehlah dicetak sendiri. Syukur-syukur pemerintah daerah melirik.Â
Apakah berat menginisiasi permainan atau konten digital menarik yang bermuatan bahasa daerah dan nilai-nilai edukasi?
Saya rasa tidak. Kehadiran negara niscaya memudahkan dan meringankan. Tinggal dilacak siapa yang bisa membuatnya dan difasilitasi oleh negara agar menajanya. Pengampu konten kreatif dari negara kita bertebaran dan berserakan di penjuru dunia.
Sayang sekali, negara seolah-olah tidak peduli pada pembangunan infrastruktur batin. Negara lebih acuh pada pembangunan infrastruktur fisik. Tidak heran jika umpat-mengumpat dan hina-menghina marak setiap menjelang pemilu, lantaran orang-orang di negara kita sibuk mengisi kepala sehingga lalai mengisi hati.
Lantas di mana posisi bahasa daerah hari ini? Di sudut-sudut rumah di pojok-pojok kampung. Itu pun makin dipinggirkan oleh bahasa Indonesia dan dimarginalkan oleh bahasa asing. Lamat-lamat menghilanglah kearifan lokal. Posisinya digantikan oleh dunia digital.
Saya hanya bisa berdecak sedih.
Pada helat luhur yang dihadiri oleh rata-rata orang-orang berkepala putih itu disajikan tontonan apik dan menarik, berupa pembacaan puisi dan petikan cerpen berbahasa daerah.
Mula-mula Kurnia Effendi. Begawan cerpen dan puisi asal Tegal ini tampil memikat dengan sajian puisi berbahasa Tegal. Mimik yang tenang dan sesekali berkelakar, penulis yang akrab disapa Mas Keff atau Mas Didi ini berhasil memancing gelak penghadir.
Kemudian giliran saya. Dengan sebuah puisi berjudul "Naninring Ranggasela" (Embun Keraguan), saya dendangkan puisi itu sebagaimana dulu ibunda saya, Syafiah Djumpa, melagukannya di telinga saya setiap menjelang tidur.
Puisi berbahasa Makassar itu selesai saya anggit satu malam sebelum acara digelar. Saya tulis dalam aksara Lontarak, aksara Makassar, dan saya hadiahkan kepada Pak Syarif Bando--Kepala Perpusnas RI. Sayang sekali, tiada terjemahan bahasa Indonesia di layar di sisi belakang panggung, gara-gara saya telat datang. Meski begitu, pemirsa tetap menikmati buaian saya.