Rabu, 7 November 2018. Matahari tengah bersembunyi di balik segulung awan. Rintik-rintik hujan sesekali diderau angin dan menyapa kepala, tetapi sebuah acara sudah menanti-nanti.Â
Pukul setengah delapan pagi. Bagi saya, itu waktu paling cepat untuk meninggalkan rumah.
Setiba di stasiun, orang-orang berdiri menunggu kereta seperti sekawanan semut yang amat bersemangat mengangkat sebutir gula pasir. Dengan berat hati saya seret kaki ke dalam kereta, karena waktu kian mepet. Di dalam kereta, orang-orang berimpitan seperti teri yang dijejalkan ke dalam peti.
Meskipun melewati perjalanan menyesakkan hingga Stasiun Manggarai, hasrat saya tidak surut sedikit pun. Dorong-mendorong, desak-mendesak, dan tukar-menukar aroma ketek mengindahkan perjalanan.Â
Di luar stasiun, odar (ojek daring; bukan ojol atau ojek online karena bahasanya gado-gado kayak anak Jaksel) sudah menunggu. Pengemudi lincah meliuk di sela kendaraan, mengantar saya melintasi jalan padat menuju Perpustakaan Nasional RI di bilangan Gambir.
Saya agak telat tiba di lokasi acara. Empat pemusik dari Batak sudah beraksi di panggung. Meski begitu, saya berusaha memaafkan diri sendiri yang kasip menghadiri sebuah helat.
Kini saya sudah berada di tempat kegiatan yang menggemaskan sekaligus mengenaskan.Â
Menggemaskan karena masih ada sekelompok orang yang peduli pada bahasa ibu atau bahasa daerah di tengah hiruk-pikuk Jakarta. Mengenaskan karena para penghadir rata-rata "golongan putih" alias "orang-orang yang sudah memasuki wilayah uzur".
Cemas kontan menempelak benak saya.
Batin saya menanyakan sesuatu: adakah bahasa daerah hanya memikat orang-orang tua yang merindukan masa kanak mereka? Batin saya mempertanyakan sesuatu: apakah tidak ada inovasi baru agar anak-anak milenial terpikat pada bahasa daerah?