Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosok Artikel Utama

Bahasa Rakyat bagi Budiman Sudjatmiko

4 November 2018   20:02 Diperbarui: 11 November 2018   16:37 5680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup Demokrasi. Penjara tidak akan membuat saya jera. Dunia melihat apa yang terjadi di sini. Soeharto akan memetik buah dari pohon diktator yang ia tanam.

Empat kalimat itu diteriakkan berkali-kali, dengan suara lantang, oleh Budiman Sudjatmiko dalam sebuah video pendek yang gencar beredar di dunia maya. Generasi Z yang lahir sekisar 1995-2010 akhirnya mengenal aktivis yang dulu kerap mengepalkan tinju tangan kirinya.

Video itu menayangkan cuplikan persidangan, pleidoi tersangka, dan suasana ketika si tersangka digelandang ke dalam mobil untuk dibawa ke LP Cipinang. Durasi boleh singkat, tetapi senyum Budiman dan gayanya membaca pembelaan lekat dalam ingatan.

Bukan hanya itu. Ekspresi Hakim Ketua yang terlihat kesal dan dongkol, tampak dari mulut yang terkatup rapat dan palu sidang yang diketukkan berulang-ulang, juga menjadi pemandangan epik dalam video tersebut. Apalagi gaya "unik nan elegan" Budiman yang sering memunggungi Pak Hakim dan menghadap ke arah penyaksi sidang, seakan-akan pleidoi yang ia baca persis naskah orasi belaka. 

Kala itu usianya baru 26 tahun, tetapi nyalinya seperti tidak mengenal rasa takut. Dalam balutan kemeja putih berlengan pendek, celana hitam, dan ikat kepala merah, sosoknya rajin menghiasi koran pada kisaran 1994-1998.

Akibat sepak terjangnya menentang kelaliman Panglima Orde Baru, Presiden Soeharto, ia didapuk menjadi "buronan nomor satu". Siapa pun tahu, Pak Harto tidak tanggung-tanggung dalam menyikapi "para pembangkang".

Akan tetapi, saya mengenal Budiman bukan dari video tersebut. Kiprah lelaki berkacamata dan berambut agak ikal itu sudah saya ketahui semenjak saya masih remaja. Saya mengikuti sepak terjang lelaki kelahiran 10 Maret 1970 sejak awal 1990-an.

Meskipun jauh dari Jakarta, kabar tentang gerakan perlawanan menentang Orde Baru gencar di telinga. Sebelum hijrah ke Jakarta pada pertengahan Agustus 1997 pun saya kian kerap mengikuti kiprah "singa podium" kelahiran Cilacap, Jawa Tengah, yang mahir berorasi itu.

Berita tentang peristiwa Sabtu Kelabu, 27 Juli 1996, juga marak menghiasi media massa. Adalah Budiman dan konco-konconya di Partai Rakyat Demoratik (PRD) yang kemudian dituding selaku dalang di balik peristiwa perebutan kantor DPP PDI di Jln. Diponegoro Jakarta.

Di bawah todongan tujuh pistol, dengan mata yang tertutup kain hitam, dan kemeja yang dipereteli petugas, ia dan kawan-kawannya "diamankan". Istilah ini memang marak pada era Orde Baru. Padahal, sebenarnya Budiman digelandang ke sebuah tempat untuk diinterogasi.

Pada akhirnya, Budiman divonis 13 tahun penjara. Andaikan reformasi tidak bergulir, andaikan Soeharto tetap mengangkangi kursi "orang nomor satu di Indonesia", andaikan Gus Dur tidak terpilih menjadi Presiden setelah reformasi tuntas meruntuhkan Orde Baru, barangkali Budiman masih tetap mendekam di LP Cipinang--atau dipindahkan entah ke mana.

Budiman tidak sendirian. Delapan aktivis PRD lain yang ditahan di tempat yang sama. Yakni, Petrus Hari Hariyanto, Anom, Kurniawan, Wilson, Ignatius Pranowo, Garda Sembiring, Suroso, dan Ken Budha Kusumandaru.

Atas amnesti Presiden Gus Dur pada 10 Desember 1999, Budiman akhirnya menghirup udara bebas. Sejak itu, lama tidak terdengar kiprahnya. Ternyata ia meneruskan kuliah di Universitas London dan Universitas Cambridge.

Budiman Sudjatmiko memaparkan gagasan awal pembentukan Inovator 4.0 Indonesia | Dokumentasi Pribadi
Budiman Sudjatmiko memaparkan gagasan awal pembentukan Inovator 4.0 Indonesia | Dokumentasi Pribadi
Bahasa rakyat. Inilah dua kata yang lekat di bawah batok kepala saya pada pertemuan imajiner bersama Budiman. Tidak, kami tidak beremu langsung dan bercengkerama tentang dunia buku--sekalipun kami sama-sama rakus membaca. Kami bertemu lewat tulisan. Beliau selaku penulis dan saya selaku pembaca. Pertemuan itu terjadi lewat sebuah opini Menggali Jejak Kebangkitan pada 21 Mei 2008.

Sejatinya, Budiman berbicara tentang kebangkitan bangsa. Namun, ia justru mengedepankan dua kata yang sudah lama hilang dari kamus pejabat atau petinggi negara. Dua kata itu adalah "bahasa rakyat". Dua kata yang lesap dan lesak ke dasar sanubari saya.

Pemilu memang terus digelar setiap lima tahun sekali, jargon "suara rakyat suara Tuhan" masih rutin terdengar, tetapi bahkan wakil rakyat pun sebenarnya tidak lebih dari wakil partai. Meminjam ledekan Iwan Fals, wakil rakyat tidak lebih dari politisi yang "hanya tahu nyanyian lagu setuju". Belakangan kian parah. Ada yang sudah tidak ikut "barisan asal setuju", tetapi cenderung "asal bunyi". Tragis!

Pada pertemuan kedua itu beliau menegaskan kembali alangkah vital bahasa rakyat itu. 

Pada awal-awal kebangkitan [bangsa], hampir semua pemimpin kebangkitan nasional hidup bersama rakyat, sangat dekat dengan kehidupan keseharian rakyat, sehingga bahasa rakyat hampir tidak berjarak dengan mereka. 

Begitu ungkap Budiman dalam artikel yang bernas dan renyah dibaca.

Saat itu menjelang pemilu. Saya tahu bahwa Budiman sudah aktif kembali di dunia politik praktis. Diam-diam saya menaruh banyak harapan di pundaknya. Berharap beliau tidak menjadi anggota paduan suara "Koor Setuju". Berharap beliau tidak tidur saat sidang soal rakyat. Berharap beliau tidak lupa pada rakyat yang diwakilinya. Dan, puji Tuhan, ia terpilih ke Senayan.

Saya suka pejabat yang rajin membaca dan bertambah suka apabila pejabat itu rajin menulis. Perasaan suka itu makin menjadi-jadi jika pejabat yang rajin membaca dan menulis itu juga cerdas dan cermat menggunakan bahasa Indonesia. Budiman memiliki ketiga hal tersebut.

Kiprah doi selama di Senayan juga bagus. Selain aktif mengupayakan terwujudnya UU Desa, ia tetap turun ke desa-desa. Ia tidak lupa darimana ia bermula, apa yang ia tuju, dan bagaimana melakukan segala usaha untuk mencapai tujuan itu.

Tidak banyak wakil rakyat yang bekerja sepenuh cinta dalam menyerap dan memperjuangkan "bahasa rakyat". Budiman termasuk di antara yang tidak banyak itu.

Suasana deklarasi Inovator 4.0 Indonesia di Museum Cemara Jakarta Pusat pada Kamis (20/9/2018) | Dokumentasi Pribadi
Suasana deklarasi Inovator 4.0 Indonesia di Museum Cemara Jakarta Pusat pada Kamis (20/9/2018) | Dokumentasi Pribadi

Jika masa depan demokrasi digital adalah kolaborasi, lalu dari mana kita harus memulainya?  Kita harus memulainya dari desa.

Begitu pertanyaan Budiman meluncur dengan intonasi tenang, tetapi mencengkam, kepada puluhan inovator yang berkumpul dan berjejaring di Inovator 4.0 Indonesia pada Sabtu (3/11/2018) di Gedung Microsoft Indonesia.

Desa tentu bukan kata asing bagi politikus PDI Perjuangan itu. Semasa sekolah menengah, ia menaruh minat besar pada kemiskinan dan nasib masyarakat desa. Semasa kuliah, ia rajin ke desa-desa untuk mendampingi petani dan buruh perkebunan.

Ia menemukan kesejatian diri dari kebersamaannya dengan para petani. Di desa, kebersamaan masih sangat kental. Tradisi gotong royong masih mengakar kuat dalam sanubari warga. Ada apa-apa urunan, ada kebutuhan bersama patungan.

Baginya, desa bukan "tetangga yang harus dipandang sebelah mata" oleh kota. Desa adalah lokus demokrasi, tempat berdiam demokrasi Indonesia masa depan. Dengan demikian, investasi publik untuk pengembangan demokrasi harus diarahkan ke desa. Intervensi teknologi langsung ke basis kultural demokrasi akan memperkuat semangat kolaborasi warga yang sudah ada. Pada akhirnya, akan mendorong desa menjadi lebih berdaya, baik secara politik maupun ekonomi.

Baginya, desa bukan "sekadar penyangga kota". Maka, gelora memperjuangkan RUU Desa berkobar dan menyala-nyala. Bahkan, gelora itu tidak surut hingga UU Desa disepakati di Rapat Paripurna DPR RI. Tak ayal, UU Desa adalah titik nol dari revolusi demokrasi di desa. Kucuran dana desa dan badan usaha milik desa (Bumdes) akan membuka peluang untuk mengakumulasi kapital dan menggerakkan roda perekonomian masyarakat desa.  

Baginya, desa bukan "kawasan terpencil yang terkungkung dalam bui ketertinggalan". Desa harus ditopang oleh kemajuan teknologi informasi. Pendek kata, Desa Digital. Desa yang ramah dan akrab dengan revolusi industri 4.0 yang kini tengah menggelinding bak bola salju.

Dua tahun lalu, tepatnya 20 April 2016, saya membaca artikel Budiman di Kompas. Dari sana saya mengeja pertanda bahwa Budiman bukan kacang yang lupa kulit. Tidak heran jika sekarang beliau doyan mengajak rekan-rekannya di Inovator 4.0 Indonesia untuk "turun ke desa".

Apakah hajat besar Budiman dalam membangun desa sebagai jalan menuju Indonesia tumbuh bersama? Tentu itu bukan perkara yang mudah meskipun bukan pula sesuatu yang mustahil. Jika seluruh komponen bangsa bersatu, yang mustahil pun dapat menjadi mungkin.

"Dalam rentang lima tahun sejak UU Desa disahkan telah tumbuh 4000 Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)," tutur Ronggo Purwoko kemarin dalam pertemuan Inovator 4.0 Indonesia. Kabar itu tentu menggembirakan dan, moga-moga, alamat harapan yang membahagiakan.

Maka, lewat tulisan ini, adalah patut jika saya mengajak teman-teman untuk tidak apatis melihat perangai wakil rakyat. Kita bisa "mengisi" kursi-kursi di Senayan dengan memilih wakil yang memang layak, patut, dan pantas.

Tatkala hak pilih kita abaikan, ada kemungkinan yang berjodoh dengan Senayan justru "politisi sontoloyo". Padahal, kita menginginkan wakil rakyat yang berkualitas. Kalau bisa, kualitas nomor wahid. Bukan wakil rakyat yang asbun, banyak bacot dangkal budi, atau ujung-ujungnya menikung rakyat dengan mengerat uang negara.

Jadi, mari waras bareng saat masuk ke bilik suara. Dengan demikian, moga-moga, Pileg 2019 akan menghasilkan wakil rakyat yang tidak pilek dan hanya peduli pada partai dan dirinya sendiri. []

Catatan: Budiman Sudjatmiko adalah sosok kedua yang saya udar secara khusus. Sosok pertama, Mukhtar Tompo, bisa dibaca di sini. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun