Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosok Artikel Utama

Bahasa Rakyat bagi Budiman Sudjatmiko

4 November 2018   20:02 Diperbarui: 11 November 2018   16:37 5680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kiprah doi selama di Senayan juga bagus. Selain aktif mengupayakan terwujudnya UU Desa, ia tetap turun ke desa-desa. Ia tidak lupa darimana ia bermula, apa yang ia tuju, dan bagaimana melakukan segala usaha untuk mencapai tujuan itu.

Tidak banyak wakil rakyat yang bekerja sepenuh cinta dalam menyerap dan memperjuangkan "bahasa rakyat". Budiman termasuk di antara yang tidak banyak itu.

Suasana deklarasi Inovator 4.0 Indonesia di Museum Cemara Jakarta Pusat pada Kamis (20/9/2018) | Dokumentasi Pribadi
Suasana deklarasi Inovator 4.0 Indonesia di Museum Cemara Jakarta Pusat pada Kamis (20/9/2018) | Dokumentasi Pribadi

Jika masa depan demokrasi digital adalah kolaborasi, lalu dari mana kita harus memulainya?  Kita harus memulainya dari desa.

Begitu pertanyaan Budiman meluncur dengan intonasi tenang, tetapi mencengkam, kepada puluhan inovator yang berkumpul dan berjejaring di Inovator 4.0 Indonesia pada Sabtu (3/11/2018) di Gedung Microsoft Indonesia.

Desa tentu bukan kata asing bagi politikus PDI Perjuangan itu. Semasa sekolah menengah, ia menaruh minat besar pada kemiskinan dan nasib masyarakat desa. Semasa kuliah, ia rajin ke desa-desa untuk mendampingi petani dan buruh perkebunan.

Ia menemukan kesejatian diri dari kebersamaannya dengan para petani. Di desa, kebersamaan masih sangat kental. Tradisi gotong royong masih mengakar kuat dalam sanubari warga. Ada apa-apa urunan, ada kebutuhan bersama patungan.

Baginya, desa bukan "tetangga yang harus dipandang sebelah mata" oleh kota. Desa adalah lokus demokrasi, tempat berdiam demokrasi Indonesia masa depan. Dengan demikian, investasi publik untuk pengembangan demokrasi harus diarahkan ke desa. Intervensi teknologi langsung ke basis kultural demokrasi akan memperkuat semangat kolaborasi warga yang sudah ada. Pada akhirnya, akan mendorong desa menjadi lebih berdaya, baik secara politik maupun ekonomi.

Baginya, desa bukan "sekadar penyangga kota". Maka, gelora memperjuangkan RUU Desa berkobar dan menyala-nyala. Bahkan, gelora itu tidak surut hingga UU Desa disepakati di Rapat Paripurna DPR RI. Tak ayal, UU Desa adalah titik nol dari revolusi demokrasi di desa. Kucuran dana desa dan badan usaha milik desa (Bumdes) akan membuka peluang untuk mengakumulasi kapital dan menggerakkan roda perekonomian masyarakat desa.  

Baginya, desa bukan "kawasan terpencil yang terkungkung dalam bui ketertinggalan". Desa harus ditopang oleh kemajuan teknologi informasi. Pendek kata, Desa Digital. Desa yang ramah dan akrab dengan revolusi industri 4.0 yang kini tengah menggelinding bak bola salju.

Dua tahun lalu, tepatnya 20 April 2016, saya membaca artikel Budiman di Kompas. Dari sana saya mengeja pertanda bahwa Budiman bukan kacang yang lupa kulit. Tidak heran jika sekarang beliau doyan mengajak rekan-rekannya di Inovator 4.0 Indonesia untuk "turun ke desa".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun