Jangan-jangan pemasang iklan tahu bahwa rapat akhir di rumah Sie Kong Liang di Kramat 106 itu sangat panas, penuh intrik, dan hampir bubar.Â
Begini, Kawan. Sebenarnya Belanda sangat ketat dalam penegakan aturan. Anak di bawah usia 18 tahun dilarang ikut rapat. Kata-kata Indonesia merdeka tidak boleh diperdengarkan dalam rapat. Pada masa itu, pemberlakuan vergader-verbod, atau larangan mengadakan rapat, karena dianggap menentang pemerintah tergantung tafsir PID.
Pada rapat terakhir, Senin malam (28 Oktober 1928), petugas PID malah sempat menghentikan rapat. Mereka mengancam akan mengeluarkan peserta belia. Mereka bersikukuh sempat mendengar pekik "merdeka". Suasana tentu sangat tegang karena memang banyak peserta rapat yang masih di bawah 18 tahun.
Akhirnya rapat kembali digelar. Ketua Kongres Pemuda II, Soegondo Djojopoespito, berpidato menutup kongres. Sebelum beliau berpidato, Muhammad Yamin datang menyodorkan secarik kertas seraya berkata, "Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie."
Muhammad Yamin sangat mencintai bahasa Melayu. Ketika peserta kongres dan pemateri menggunakan bahasa Belanda saat berbicara, Muhammad Yamin mencatatnya dalam bahasa Indonesia. "Saya punya rumusan yang lebih elegan untuk keputusan Kongres ini."Â
Begitu bisik Yamin kepada Ketua Kongres. Secarik kertas darinya segera diparaf pertanda setuju oleh Soegondo, kemudian diteruskan kepada peserta yang lain untuk diparaf setuju juga.
Tidak ada kata "merdeka" dalam tiga butir ikrar anggitan Yamin. Andai kata ada, hari ini kita tidak akan merayakan Sumpah Pemuda, sebab Soegondo pasti dilarang berpidato oleh PID. Pidato penutup berisi ikrar itu dibacakan pada Senin malam. Masih 28 Oktober 1928, belum masuk 29 Oktober 1928 seperti pada bunyi iklan "keren" itu.
Bahkan andaikan Supratman, sang penggubah lagu kebangsaan, tidak berinisiatif mengakali lirik "Indonesia merdeka" dengan "Indonesia mulia", mungkin rapat dibubarkan dan kita tidak pernah memperingati Sumpah Pemuda.
Bahkan andaikan Dolly Salim, putri Haji Agus Salim, yang kala ikut kongres masih 15 tahun dan tidak ketahuan intel PID, yang sewaktu menyanyikan Indonesia Raya harus berdiri di atas kursi agar terlihat oleh seluruh hadirin, tidak mengikuti arahan Supratman soal "Indonesia mulia", hari ini kita tidak akan merayakan Sumpah Pemuda.
Beruntunglah kita karena ada iklan menohok yang menggelitik keindonesiaan kita. Mungkin pengiklan sedang ingin berkelakar. Bolehlah melawak, tidak apa-apa bercanda, tiada pula larangan bergurau, tetapi tebarlah kelakar yang wajar.
Pengiklan tentu satu orang. Pasti ada yang mengonsep, ada yang mendesain, ada yang mencetak, ada yang memeriksa cetakan, ada yang memasang. Apakah tidak ada seorang pun yang ngeh?