Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Sumpah Pemuda dan Iklan Konyol

28 Oktober 2018   08:53 Diperbarui: 28 Oktober 2018   09:28 1429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Papan reklame yang sengaja salah tanggal | dokpri

Peringatan Hari Sumpah Pemuda diundur karena hari ini hari libur.

Itu bukan maklumat dari pemajang iklan. Itu hanya imajinasi liar saya menanggapi pariwara ajaib itu. Entah dari mana asalnya sehingga ada iklan yang sebegitu konyol dan sungguh mencengangkan.

Betapa tidak. Kongres Pemuda II sudah 90 tahun berlalu, waktu penyelenggaraannya diajarkan sejak sekolah tingkat dasar, serta setiap tahun kita peringati sebagai titik tolak keindonesiaan kita. Sangat ajaib jika ada kelompok, lembaga, atau institusi yang salah tanggal.

Mungkin pihak pengiklan sedang mencoba cara kreatif untuk mengingatkan kita pada peristiwa bersejarah, mungkin. Dengan kata lain, mereka sengaja salah tanggal supaya jadi pusat perhatian. Di situ konyolnya, di situ sontoloyonya.

Anggap saja itu bukan tindakan khilaf atau tertikung lupa, melainkan upaya mencari sensasi. Tidak masuk akal sebuah institusi, dengan banyak orang di dalamnya, bisa terkena amnesia sejarah dadakan.

Barangkali pihak pengiklan itu tahu bahwa pelaksanaan Kongres Pemuda II hampir batal. Mungkin mereka pernah membaca kisah Gubernur Jenderal H.J. de Graff yang "bertangan besi". Rapat pemuda saja dibatasi dan diawasi, apalagi kongres yang dihadiri sekisar 750 pemuda.

Barangkali pemilik iklan tersebut bahwa Kongres Pemuda II mesti tiga kali pindah tempat dan dibagi dalam tiga tahap rapat karena diawasi amat ketat oleh Dinas Intelijen Politik Belanda (Politieke Inlichtingen Dienst, PID).

Pemasang iklan tersebut pasti tahu di mana saja rapat digelar. 

Pertama, gedung Katholieke Jongelingen Bond di Waterlooplein. Sekarang Lapangan Banteng. Kedua, Oost Java Bioscoop di Konigsplein Noord. Sekarang kita kenal sebagai Jalan Medan Merdeka Utara. Ketiga, rumah di JalanKramat 106 sekaligus penutupan rapat. Sekarang kita namai Museum Sumpah Pemuda.

Mau tidak mau, saya kagum kepada Bukalapak, si pemilik reklame. Mereka kreatif. Caranya mengajak khalayak untuk merayakan sejarah sungguh berkelas.

Jangan-jangan pemasang iklan tahu bahwa rapat akhir di rumah Sie Kong Liang di Kramat 106 itu sangat panas, penuh intrik, dan hampir bubar. 

Begini, Kawan. Sebenarnya Belanda sangat ketat dalam penegakan aturan. Anak di bawah usia 18 tahun dilarang ikut rapat. Kata-kata Indonesia merdeka tidak boleh diperdengarkan dalam rapat. Pada masa itu, pemberlakuan vergader-verbod, atau larangan mengadakan rapat, karena dianggap menentang pemerintah tergantung tafsir PID.

Pada rapat terakhir, Senin malam (28 Oktober 1928), petugas PID malah sempat menghentikan rapat. Mereka mengancam akan mengeluarkan peserta belia. Mereka bersikukuh sempat mendengar pekik "merdeka". Suasana tentu sangat tegang karena memang banyak peserta rapat yang masih di bawah 18 tahun.

Akhirnya rapat kembali digelar. Ketua Kongres Pemuda II, Soegondo Djojopoespito, berpidato menutup kongres. Sebelum beliau berpidato, Muhammad Yamin datang menyodorkan secarik kertas seraya berkata, "Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie."

Muhammad Yamin sangat mencintai bahasa Melayu. Ketika peserta kongres dan pemateri menggunakan bahasa Belanda saat berbicara, Muhammad Yamin mencatatnya dalam bahasa Indonesia. "Saya punya rumusan yang lebih elegan untuk keputusan Kongres ini." 

Begitu bisik Yamin kepada Ketua Kongres. Secarik kertas darinya segera diparaf pertanda setuju oleh Soegondo, kemudian diteruskan kepada peserta yang lain untuk diparaf setuju juga.

Tidak ada kata "merdeka" dalam tiga butir ikrar anggitan Yamin. Andai kata ada, hari ini kita tidak akan merayakan Sumpah Pemuda, sebab Soegondo pasti dilarang berpidato oleh PID. Pidato penutup berisi ikrar itu dibacakan pada Senin malam. Masih 28 Oktober 1928, belum masuk 29 Oktober 1928 seperti pada bunyi iklan "keren" itu.

Bahkan andaikan Supratman, sang penggubah lagu kebangsaan, tidak berinisiatif mengakali lirik "Indonesia merdeka" dengan "Indonesia mulia", mungkin rapat dibubarkan dan kita tidak pernah memperingati Sumpah Pemuda.

Bahkan andaikan Dolly Salim, putri Haji Agus Salim, yang kala ikut kongres masih 15 tahun dan tidak ketahuan intel PID, yang sewaktu menyanyikan Indonesia Raya harus berdiri di atas kursi agar terlihat oleh seluruh hadirin, tidak mengikuti arahan Supratman soal "Indonesia mulia", hari ini kita tidak akan merayakan Sumpah Pemuda.

Beruntunglah kita karena ada iklan menohok yang menggelitik keindonesiaan kita. Mungkin pengiklan sedang ingin berkelakar. Bolehlah melawak, tidak apa-apa bercanda, tiada pula larangan bergurau, tetapi tebarlah kelakar yang wajar.

Pengiklan tentu satu orang. Pasti ada yang mengonsep, ada yang mendesain, ada yang mencetak, ada yang memeriksa cetakan, ada yang memasang. Apakah tidak ada seorang pun yang ngeh?

Itu sebabnya saya menduga bahwa iklan tersebut memang sengaja dibuat salah. Biar banyak yang lihat, biar dibicarakan publik, biar viral. Sayang, niat ajaib itu terlalu cepat terbongkar. Pagi ini, pukul 08.30, saya lihat unggahan video Zaky, si pemilik iklan, bertaburan di Twitter. 

Sungguh iklan konyol yang keren. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun