Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Sukarno, Kenangan, dan Garuda Muda

24 Oktober 2018   23:30 Diperbarui: 25 Oktober 2018   09:35 1289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemain Timnas U-19 merayakan kemenangan setelah menundukkan Timnas U-19 UEA | Foto: bola.kompas.com

Kita akan mengerti harga kerja keras dengan bekerja keras. ~ Margaret Mead, Antropolog Amerika

Kerja keras. Setelah mempertunjukkan gairah pantang menyerah saat ditekuk 5-6 oleh Qatar, malam ini Garuda Muda mempertontonkan hasrat bekerja keras. Lutfi dan kolega menjelma karang di atas lapangan dan, dengan teguh, menahan serangan UEA yang bagai lidah gelombang surut di bibir pantai.

Lupakan penalti, sebab wasit tidak menunjuk titik 12 pas sewaktu Todd Rivaldo dijorong hingga jatuh di kotak penalti UEA. Lupakan drama kartu merah, karena Kapten Garuda Muda diganjar kartu kuning kedua sebelum ia ditandu keluar lapangan. 

Lupakan hal pahit sebab ada hal manis yang layak kita kenang.

Berhasil menahan gempuran bertubi-tubi selama kurang lebih 44 menit bukanlah hal mudah. Sejak menit ke-53, Garuda Muda harus kehilangan seorang pemain. Sang Kapiten dari Makassar, Nurhidayat Haris, menerima kado kartu merah. Timnas U-19 UEA segera meradang dan menerjang. Mereka sulap seluruh sisi lapangan menjadi medan serangan.

Akan tetapi, Garuda Muda bekerja keras menjaga keunggulan. Sebiji gol di babak pertama harus dipertahankan. Aksi gemilang Witan memanfaatkan kecerobohan bek lawan tidak boleh dinodai dengan gol balasan. Gawang Riyandi harus tetap perawan. Seluruh pemain bahu-membahu menggalang pertahanan.

Kerja keras pemain membuahkan akhir yang manis. Garuda Muda menang. Pelatih Indra bertimpuh, mulutnya komat-kamit, dan matanya basah. Indonesia sudah dua kali jadi tuan rumah Piala AFC U-19, tetapi dua kali pula tidak pernah lolos dari fase grup. Itulah hal manis pertama yang pantas kita kenang.

Timnas U-19 UEA bukanlah kesebelasan kacangan. Selain langganan Piala Dunia FIFA U-20, mereka juga pernah mencicipi juara dua di ajang tersebut. Sebelum laga akhir Grup A dimulai, UEA sudah memuncaki grup dengan enam angka. Mengalahkan UEA secara dramatis adalah hal manis kedua yang layak kita kenang.

Omong-omong tentang kenangan, mari kita mundur sejauh 57 tahun. Kala itu, 1961, Indonesia merajai Piala AFC U-19. Garuda Muda berbagi gelar juara dengan Burma, sekarang Myanmar, setelah bermain imbang di final hingga jatah 90 menit habis. Atas pertimbangan rasa kasihan, Raja Thailand menghentikan permainan dan memutuskan Indonesia dan Burma juara bersama.

Padahal Garuda Muda, yang saat itu dibesut oleh Toni Pogacnik, siap bekerja keras menghadapi babak tambahan. Bahkan sudah siap adu tos-tosan. Idris Mappakaja dan rekan-rekannya siap menguras tenaga dan memeras keringat. Namun titah Raja Thailand, selaku tuan rumah, tidak dibantah oleh siapa pun.

Akhirnya Indonesia merasakan podium dan merayakan gelar juara. 

Lupakan bahwa sebenarnya ada kemungkinan Indonesia bakal kalah jika pertandingan diteruskan. Lupakan kenyataan bahwa Raja Thailand menghentikan laga karena tidak ingin melihat kesebelasan yang kalah menangis dicocor nelangsa. Yang penting Garuda Muda sudah siaga bekerja keras untuk menekuk Burma.

Pesta sukacita atas gelar juara bertambah. Presiden RI, Sukarno, mengundang Garuda Muda untuk makan malam bersama. Saat itu beliau tengah melawat ke Negeri Gajah, Thailand. Beliau menepuk pundak para pemain Garuda Muda. Bagi pemain, bertemu Pak Presiden di meja makan merupakan peristiwa istimewa. Lebih istimewa lagi karena setiap pemain dilimpahi uang sebanyak 15 dolar AS.

Apresiasi Bung Karno layak diacungi jempol. Beliau sangat menghargai kerja keras. Beliau tahu betul pedih perih berjuang. Beliau menyerahkan hadiah sebelum keringat pemain kering.

Itulah satu-satunya gelar juara Piala AFC U-19 yang kita miliki. Baru satu, tetapi lebih mendingan daripada tidak pernah juara. Itulah hal manis ketiga yang patut kita kenang.

Sebenarnya sempat ada peluang menambah koleksi piala. Pada 1967, Garuda Muda masuk final melawan Israel. Ndilalah, timnas kita kalah 0-3. Tiga tahun kemudian, 1970, peluang menambah gelar kembali terentang. Sayang, Garuda Muda takluk di hadapan Myanmar dengan skor 0-3. 

Masih tentang kenangan. Pada 1979, Garuda Muda pernah tampil di Piala Dunia FIFA U-20. Lupakan bahwa sebenarnya kala itu tim kesayangan rakyat Indonesia hanya pemeran pengganti. Mestinya Irak yang ikut Piala Dunia di Jepang, tetapi mereka mundur karena menolak tampil.

Kala itu, Piala Dunia tersebut disponsori oleh Coca Cola. Irak menutup hidung atas segala hal yang berbau Amerika Serikat. Semifinalis lain, Korea Utara dan Kuwait juga menolak ikut serta. Kedua negara itu memusuhi negara adikuasa dari benua Amerika. Tiga tim perempat final, yakni Iran, Arab Saudi, dan Bahrain juga menolak dengan alasan serupa. Selaku tim yang lolos ke perempat final, Indonesia berangkat ke Jepang.

Walau demikian, peristiwa itu bukal hal manis keempat yang patut kita kenang. Indonesia pulang ke tanah air dengan "keranjang gol penuh bola". Bayangkan, 16 gol bersarang di gawang kita. Lima gol dari Argentina pada laga perdana, enam gol dari Polandia pada laga kedua, dan lima gol dari Yugoslavia pada laga ketiga.

Kabar baiknya, kesebelasan kita masih mendapat gelar. Garuda Muda tercatat sebagai tim dengan jumlah kebobolan terbanyak. Torehan gelar itu belum terpecahkan hingga sekarang. Itu kenangan pahit sekaligus manis untuk dikenang. Walaupun pertama kali ikut Piala Dunia U-20 dan dijebol 16 gol bukan sesuatu yang keren untuk dikenang.

Kenangan pahit memang menyesakkan bila diingat-ingat. Jadi, lupakan saja bahwa kita kalah dari Argentina. Lupakan saja bahwa Garuda Muda bernah berhadapan dengan Maradona. Pada akhirnya, Argentina yang keluar sebagai juara.

Mari kita kembali ke Garuda Muda era kiwari.

Tahun ini kita menjadi tuan rumah Piala AFC 2018. Kemustahilan telah dibayar kontan. Barangkali berat bagi Garuda Muda edisi Indra Sjafri untuk melewati babak perempat final. Lawan sudah menunggu. Jepang. Meski begitu, bukan berarti semua pintu dan jendela peluang tertutup rapat-rapat. Selalu ada jalan bagi yang mau bekerja keras.

Apakah Garuda Muda akan memberikan kenangan manis baru, kepada kita, dengan lolos ke semifinal? Doakan saja. Ya, kita doakan supaya Egy pulih dan bisa berlaga di babak perempat final.

Apakah Garuda Muda kembali bisa melangkah ke babak semifinal? Doakan saja. Ya, doakan supaya seluruh penggawa Garuda Muda sehat bugar dan siap bekerja keras.

Hanya itu yang bisa kita lakukan. Siapa tahu doa dan dukungan kita makbul. Siapa tahu kenangan Sukarno menjamu makan malam setelah juara, tentu kali ini bersama Presiden Joko Widodo, kembali terulang.

Bagaimanapun, tim besutan Indra Sjafri sudah menyuguhkan banyak kegembiraan.

Soal kalah atau menang itu perkara belakangan. Setidaknya, kita sudah terhibur melihat kerja keras Lutfi dan teman-temannya di atas lapangan. Setidaknya, kita sudah menyaksikan kegigihan Asnawi dan kawan-kawannya di atas lapangan.

Soal kalah atau menang itu hal biasa dalam dunia sepak bola. Bagi kita, yang penting Garuda Muda menang. Eh! []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun