Alih-alih melahirkan  wakil rakyat, pemilu malah menghadirkan wakil kebencian.
Bisnis kebencian akan menyasar isu suku, agama, dan ras. Kebohongan diproduksi secara besar-besaran. Bualan utamanya hoaks. Target besarnya meretakkan bangsa lewat pembenturan pribumi-nonpribumi, Jawa-luar Jawa, atau Islam-bukan Islam.
Sebenarnya bualan basi, tetapi selalu laku dalam pesta demokrasi.
Makelar bisnis kebencian akan mengajukan hasil riset tentang pemilih yang mudah dihasut, kajian soal kebohongan apa yang efektif diproduksi, serta rancangan besar mengelola Mesin Hoaks. Ini bukan perkara remeh, sebab yang mereka lakukan bukan sesuatu yang receh.
Konten kebencian sudah mulai merasuki media sosial. Para makelar mulai berdansa. Calon pemesan mulai mengambil ancang-ancang. Sementara itu, kita terbelalak melihat perseteruan politik yang jauh dari sehat. Pada saatnya, jika kita ikut larut, kewarasan kita terancam.
Pemilih yang persis molekul besi--tidak seragam dan tidak searah--terus digosok dengan Magnet Kebohongan, hingga seluruh pemilih luluh dan searah: membenci calon yang "digembosi" oleh para Penggerak Kebencian.
Jika sudah terjadi, kita hanya bisa terpana dan ternganga. Sungguhpun ada segelintir pemilih yang sadar dan sehat, jumlahnya tidak seberapa. Kalaupun pemilih yang sadar dan sehat itu waspada, belum tentu sudi aktif melawan Serangan Kebencian.
Tak ayal, politik kebohongan dan kebohongan politik akan mengantar bangsa dan negara kita pada pelataran kehancuran.Â
Dulu, bisnis kebencian masih laten dan klandestin. Ancamannya tidak berbunyi. Sekarang tidak lagi. Bisnis kebencian menyembul tanpa malu-malu dan menyembur caci maki ke segala arah. Bisnis tersebut melesat ke permukaan dan serta-merta mengeriputkan pori-pori kebaikan.
Maka sambutlah baliho-baliho kebencian, spanduk-spanduk kebohongan, dan selebaran-selebaran keburukan di seluruh aspek kehidupan.