Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosok Artikel Utama

Apa Salah Kiai Ma'ruf?

10 Agustus 2018   14:50 Diperbarui: 26 Mei 2019   15:07 7221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gempar. Mula-mula tersiar kabar bahwa Pak Jokowi akan memilih pasangan cawapres yang berinisial 'M'. Spekulasi pun bermunculan. Ternyata bukan Mahfud MD. Bukan juga Muhaimin Iskandar. Apalagi Maman Suherman. Ternyata Kiai Ma'ruf Amin.

Pada mulanya hanya pidato. Adalah Ahok yang berpidato di depan warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, pada akhir 2016. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menyitir Al-Maidah ayat 51. Lantas seseorang mengeposkan video potongan pidato beliau. 

Lantas video potongan pidato itu viral di media sosial. Lantas FPI berang dan menggalang massa dan meminta agar Ahok diadili. Lantas MUI mengeluarkan fatwa bahwa Ahok menghina Alquran dan Ulama.

Indonesia semakin riuh. Ahok pun dicap penista agama. Fatwa MUI menyatukan umat. Kemudian lahirlah Gerakan Nasional Pendukung Fatwa (GNPF). Gerakan ini kemudian membidani lahirnya aksi massa berjudul 212. 

Hasilnya telah kita ketahui bersama. Ahok akhirnya kalah pada Pilgub DKI Jakarta dan berlapang dada menjalani hukuman. Belakangan bahkan memilih menjalani hukuman tanpa potongan.

Sementara itu, GNPF tetap eksis termasuk pada ingar-bingar Pilpres 2019. Beberapa waktu lalu, gerakan ini melahirkan Ijtima Ulama untuk mendukung Salim Assegaf atau Ustaz Abdul Somad sebagai Cawapres bagi kubu Prabowo. 

Bola menggelinding deras. Ustaz Abdul Somad memilih tetap bekerja sebagai suluh bagi umat. Belakangan, kubu Prabowo memilih Sandiaga Uno sebagai Cawapres dan mengabaikan Ijtima Ulama yang ditelurkan GNPF.

Jauh dari dugaan sebagian besar pendukung kubu Jokowi, ternyata petahana yang juga mantan Gubernur DKI Jakarta itu melakukan manuver politik yang mencengangkan. Memang benar beliau memilih Cawapres dengan inisial 'M', tetapi bukan Mahfud atau Muhaimin. Pilihan beliau jatuh kepada Kiai Ma'ruf Amin, salah seorang inisiator GNPF.

Kontan netizen gempar. Kubu Prabowo terpangah lantaran tidak menyangka Jokowi akan memilih Kiai Ma'ruf. Pendukung Jokowi yang loyalis Ahok juga tercengang. 

Bukan apa-apa. Bagi loyalis Ahok, Kiai Ma'ruf merupakan "musuh bebuyutan" yang dianggap turut mengantar Ahok ke bui. Sekarang malah dipilih Pak Jokowi untuk maju ke Pilpres 2019. Dengan kata lain, Kiai Ma'ruf beralih status dari "musuh bebuyutan" menjadi "musuh dalam selimut".

"Bukan fatwa yang menimbulkan kegaduhan, tapi ucapan Ahok." ~ K.H. Ma'ruf Amin 

Pernyataan tersebut jelas-jelas tidak berterima bagi khalayak pendokung Ahok. Segelintir di antara mereka bahkan tidak bisa memaafkan Kiai Ma'ruf. Maka, kalangan yang tidak bisa memaafkan itu sontak melawan dan mengancam akan memilih golput pada Pilpres 2019.

Tentu saja khalayak loyalis Ahok berhak menentukan pilihan apakah golput atau tetap mendukung Jokowi. Itu hak politik mereka. Namun, Kiai Ma'ruf juga berhak untuk menerima pinangan Pak Jokowi. Beliau tentu punya alasan, pikiran, dan pendapat sendiri terkait persetujuannya menjadi Cawapres. Meminjam pendapat Gus Dur, gitu aja kok repot.

Apakah salah apabila Kiai Ma'ruf menerima pinangan Pak Jokowi? Jelas tidak salah. Mau ditilik dari sudut mana pun, beliau tidak bisa dipersalahkan. Pak Jokowi juga tidak bersalah. Beliau berhak memilih siapa saja yang beliau inginkan untuk mendampingi beliau. Mau Memet mau Maman, itu hak beliau.

Ada beberapa hal yang mesti kita ingat.

Pertama, politik itu cair. Kemarin bilang A, hari ini bilang B, besok mungkin C. Tidak ada yang aneh. Biasa-biasa saja.

Barangkali kita masih ingat bahwa petinggi PDIP, dulu, ada yang pernah menandaskan bahwa partai berlambang moncong putih itu tidak butuh suara dari pemilih Muslim. 

Sekarang situasinya berbeda. Mana tahu kini PDIP sudah membutuhkan suara dari pemilih Muslim. Dan, penahbisan Kiai Ma'ruf selaku pendamping Pak Jokowi adalah alamat yang terang terhadap kebutuhan itu.

Jadi, tidak usah heran. Dulu, beberapa tahun silam sewaktu Ibu Mega maju melawan SBY, beliau pernah memilih Pak Prabowo selaku pasangan. Ndilalah, pendukung Jokowi mulai gerah dan mengungkit-ungkit masa lalu Pak Prabowo hanya karena mantan menantu Pak Harto itu tetap ngeyel melawan Jokowi. Dulu mereka ke mana sehingga tidak berkoar-koar menghujat Pak Prabowo. Tidak aneh, tidak ada yang aneh, sebab politik memang cair.

Maka, alangkah ajaib jikalau sekarang gerah dan gempar lantaran Pak Jokowi memilih Kiai Ma'ruf. Yang sedang-sedang saja, begitu lirik lagu dangdut yang dipopulerkan oleh Vetty Vera. Boleh jadi yang kita benci hari ini esok-esok akan kita cinta. Jadi, jangan lebay.

Kedua, Kiai Ma'ruf berhak dipilih dan memilih. Sebagai warga negara, beliau punya hak suara. Tidak peduli usia atau latar belakang, beliau berhak mendampingi Pak Jokowi.

Sebenarnya tidak sulit-sulit amat jikalau kita ingin menjadi Presiden di negara tercinta ini. Syaratnya cuma dua. Ada partai pengusung dan dipilih oleh warga. 

Sungguhpun cuma dua syarat, namun keduanya tidaklah enteng. Kalaupun ada partai yang mengusung, belum tentu terpilih. Ibu Mega, Pak Amin, dan Pak Prabowo sudah pernah membuktikannya.

Menjadi Cawapres juga tidak sulit-sulit banget. Asalkan dipinang Capres pasti jadi Cawapres. Gonjang-gonjing sebulan belakangan ini menyajikan bukti kuat betapa sukar menjadi Cawapres. 

Pak Mahfud sendiri merasakannya. Sudah dikabari untuk menyiapkan CV, sudah diminta melengkapi persyaratan, sudah menjahit kemeja putih, ternyata di-PHP. Nasib pada 2014 kembali menimpa beliau. Alih-alih patah hati, mantan Ketua MK itu tetap mendukung Pak Jokowi.

Belum lagi ketua-ketua partai yang gencar mempromosikan jagoannya untuk disandingkan dengan Capres, baik kepada Pak Jokowi maupun Pak Prabowo. Semuanya tahu diri sebab yang dipilih dan terpilih pasti cuma satu Cawapres. Soal tetap mendukung atau mengalihkan dukungan, itu perkara lain. Tergantung kebijakan partai dan arah perasaan panglima partai. Sederhana, kok.

Kita kembali pada sosok Kiai Ma'ruf. Mengapa Pak Jokowi memilih beliau? Jangan dikira Kiai Ma'ruf anak bawang atau bau kencur di kancah politik. Beliau pernah menjadi Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta pada 1977-1982. Sebelumnya, beliau terpilih menjadi anggota DPRD DKI Jakarta sejak 1971. Bahkan, Ketua Umum MUI ini menduduki Ketua Fraksi PPP pada 1973-1977. Kurang apa coba?

Masih butuh kabar atas kiprah doi? Beliau pernah menjadi anggota MPR pada 1997-1999. Kemudian bergabung dengan Partai Kebangkitan Bangsa dan menjadi Dewan Syuro. Pada Pemilu 1999, beliau terpilih menjadi anggota DPR dari Fraksi PKB.

Pak Jokowi tentu sudah mempelajari rekam jejak Kiai Ma'ruf. Pak Kiai bukan pilihan "kucing dalam karung". Beliau bukan politisi kacangan. Beliau ulama sekaligus intelektual. Beberapa buku lahir dari buah pemikiran beliau. Buku-buku itu beliau karang sendiri, bukan ditaja oleh penulis hantu. Kalau beliau nanti terpilih, kita bakal punya Wapres yang suka menulis.

Ketiga, Pak Jokowi memang doyan daun tua. Setelah memilih Pak JK sebagai pendamping pada Pilpres 2014, sekarang memilih Kiai Ma'ruf. Selisih usia mereka 18 tahun.

Tentu ada alasan. Tidak mungkin asal-asalan. Pak Jokowi suka ceplas-ceplos, meskipun lebih berhati-hati semenjak menjadi Presiden. Beliau butuh pendamping yang kalem, tenang, dan sejuk. Karakter itu ada pada sosok Kiai Ma'ruf.

Kurang kalem apa beliau? Meskipun dibentak-bentak oleh pengacara Ahok, beliau kalem saja. Tidak marah, apalagi sampai mengamuk. Ketika si pengacara meminta maaf, beliau memaafkan. Tidak memeram dendam, apalagi sampai balas dendam.

Kurang tenang apa beliau? Dicecar kiri-kanan tatkala MUI mengeluarkan fatwa penista agama kepada Ahok, beliau tenang-tenang saja. Beliau pun tidak berapi-api saat mengungkapkan alasan mengapa Ahok dianggap menista agama. Tenang dan terukur.

Kurang sejuk apa beliau? Walaupun dicerca banyak pihak ketika bergabung dengan lembaga bentukan Pak Jokowi untuk mengurusi Pancasila, beliau tidak meradang. Seandainya beliau aktif di medsos, beliau tidak akan memajang twit panjang sebagai alat bela diri. Apalagi sampai main blok.

Jadi, sungguh naif apabila kita menyangka Pak Jokowi salah pilih. Yang ada, kita salah sangka. 

Cucu ulama besar dari Banten, Syekh Nawawi al-Bantani, layak mendampingi Pak Jokowi pada helat akbar Pilpres tahun depan.

Harapan para ulama supaya ada sosok yang paham agama pada Pilpres 2019 kini terwakili lewat sosok Kiai Ma'ruf. Kendatipun tidak direkomendasi oleh para ulama di GNPF, beliau tetap seorang ulama yang karismatik dan cendekia.

Andaikan pendukung Ahok sekarang gamang dan berniat golput, tidak perlu juga dipusingi. Itu hak politik mereka. Kembali meminjam kalimat sakti Gus Dur, gitu aja kok repot!

Kandangrindu, 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun