Adalah Ahmad Bastari Suan yang pertama kali mengajukan penggunaan kata mantan sebagai pengganti kata bekas atau eks. Akademisi asal Universitas Sriwijaya itu mengusulkannya pada tahun 1984 lewat sebuah tulisan di majalah Pembinaan Bahasa Indonesia.
Menurut Ahmad Bastari Suan, kata bekas atau eks kurang pantas digunakan karena menyandang nilai rasa rendah apabila disematkan pada seseorang. Bekas camat, misalnya. Apalagi eks camat. Rasanya sejajar dengan mobil bekas atau bekas garong.
Kata mantan dipungut dari bahasa Basemah, Komering, dan Rejang yang bermakna 'tidak berfungsi lagi'. Maknanya persis seperti bekas. Dalam bahasa Basemah, seorang bekas pegawai akan disebut pegawai mantan. Adapun khatib yang sudah pensiun berkhotbah akan disebut ketip mantan.
Ketika diserap ke dalam bahasa Indonesia, mantan menjadi frasa inti atau 'yang diterangkan', mengingat bahasa Indonesia menganut hukum DM alias Diterangkan-Menerangkan. Jadilah presiden yang sudah purnatugas dinamai mantan presiden.
Lantas mengapa saya menggunakan frasa 'mantan narapidana korupsi' untuk menjuduli tulisan ini? Baiklah, saya ajak teman-teman kembali pada kaidah penggunaan kata mantan. Sekali lagi, kata usulan Ahmad Bastari Suan itu digunakan untuk melayakkan, memantaskan, dan meninggikan rasa. Dengan begitu, ada unsur 'tetap menghargai dan menghormati'.
Bagaimana dengan politisi yang pernah mendekam di bui akibat mengerat uang rakyat? Apakah mereka memiliki nilai rasa tinggi terhadap kepentingan rakyat? Apakah mereka layak dihormati dan dihargai setelah menyunat dana yang mestinya digunakan buat kepentingan rakyat?
Itu belum seberapa. Setelah keluar dari kerangkeng, ratusan bekas narapidana korupsi itu kini berlomba-lomba ingin kembali menjadi wakil rakyat. Lalu, tatkala terpilih mereka akan disapa dengan sebutan agung seperti "yang terhormat" atau "yang mulia". Ajaib!
Tidak heran jika saya memilih kata 'bekas' untuk dipadankan dengan 'narapidana korupsi'. Bukan tanpa alasan. Kata bekas tetap digunakan dalam bahasa Indonesia untuk menyebut bekas diktator, bekas garong, atau bekas penjahat ulung. Persis baju bekas, barang bekas, atau bekas kuda balap.
Rakyat disuguhi tontonan hasrat berkuasa dari para bekas napi koruptor. Syahwat para pengerat uang negara itu untuk kembali ke barisan terdepan masyarakat begitu menggebu-gebu. Bayangkan, 199 bacaleg merupakan mantan penghuni penjara akibat dakwaan korupsi.
1. Pengurus Partai Kehabisan Dalih
Hampir semua partai peserta Pemilu 2019 mengajukan bacaleg bekas napi korupsi. Hanya PSI yang tidak menjagokan bekas napi korupsi. Gerindra menyerot 27 bacaleg bekas napi korupsi. Lalu disusul Golkar (23), Hanura (14), Demokrat (13), dan Nasdem (12).
Seolah-olah enggan mengalah, partai baru seperti Berkarya ikut-ikutan dengan 16 bacaleg, Perindo (11), dan Garuda (6). Adapun PAN, PKS, dan PDIP masing-masing mengasongkan 5 bacaleg. PKB dan PPP kompak dengan 6 bacaleg, PKPI 7 bacaleg, sedangkan PBB 8 bacaleg.
Fadli Zon, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, tanpa ragu menyatakan di Kompas.com bahwa kita harus mempertimbangkan bekas napi korupsi karena banyak dari mereka yang sudah tobat, menjadi lebih baik, dan bermanfaat bagi masyarakat. Itu pendapat beliau.
Sangat wajar apabila penyambung lidah rakyat berpendapat seperti itu. Sebut saja dalih semacam itu sebagai upaya berkelit dari politisi yang sedang pamer kemahiran bersilat lidah atau semacam alibi untuk menyelematkan bacaleg usungan partainya atau apalah yang serumpun dengan itu. Beliau berhak berdalih, kita berhak percaya atau tidak percaya.
Sebagai rakyat, yang tidak punya kuasa apa-apa selain menyimak dan sesekali nyinyir, kita juga berhak berselisih pendapat dengan beliau. Bukan apa-apa, dampaknya akan ditanggung rakyat hingga lima tahun mendatang.
2. Pengurus Partai Merasa Kecolongan
Ada pula yang bersikukuh bahwa partai kecolongan. Ini menggelikan. Partai dibiayai oleh rakyat supaya menjadi profesional dalam membangun budaya berdemokrasi. Kecolongan merupakan dalih tidak wajar. Semacam ada ketidakberdayaan dan ketidakmampuan partai dalam menjaring, mendidik, dan mempersiapkan kader.
Alasan bahwa bekas napi korupsi punya nilai lebih, terutama lebih kuat dari segi finansial, sehingga mereka disorong menjadi bacaleg. Dari manakah muasal kelebihan finansial itu? Apakah seratus persen bisa dipastikan bahwa kelebihan finansial itu bukan berasal dari hasil menyunat uang rakyat?
Sekarang kita coba tepekur dulu. Sebanyak 30 bekas napi korupsi akan bertarung dalam pileg di tingkat DPRD di 11 provinsi. Kemudian, jikalau 148 bacaleg terpilih, 93 kabupaten akan dikangkangi eks koruptor. Belum lagi 12 DPRD Kota dengan 21 bekas napi koruptor. Silakan kalian berseru "wow"!
Bagaimanapun, KPU sudah melarang eks koruptor menjadi caleg. Ketentuan itu ada dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
3. Semua Terserah Pemilih
Ini juga bukan dalih yang tepat. Jikalau kita ke pasar tradisional atau ke swalayan modern, kita pasti akan menggerendeng apabila penjual mengatakan "ini buah busuk". Apalagi belum pasti akan ada label penunjuk apakah seorang caleg terpapar korupsi atau tidak.
Mari kita baca dengan saksama temuan Bawaslu. Bacaleg DPRD Banten ditongkrongi oleh 2 bekas napi korupsi, Bengkulu (4), DKI Jakarta (1), Jambi (9), Jawa Tengah (2), Kalimantan Selatan (1), Kepulauan Riau (3), Nusa Tenggara Timur (2), Riau (2), Sulawesi Tenggara (3), dan Sulawesi Utara (1).
Perincian bekas napi korupsi yang maju untuk Pileg DRPD Kabupaten adalah Kabupaten Buol dan Katingan masing-masing 6 bacaleg, di Kapuas 5 bacaleg, sementara Belitung, Trenggalek, dan Kutai Kartanegara dengan 4 bacaleg.
Ada 8 kabupaten dijamuri 3 bacaleg bekas napi korupsi, yakni Alor, Bolaang Mongondow, Bulukumba, Natuna, Pasaman Barat, Rejang Lebong, Seruyan, dan Sidoarjo.
Sebanyak 15 kabupaten dihiasi 2 bacaleg di Aceh Barat Daya, Banggai, Barito Selatan, Hulu Sungai Utara, Jembrana, Kampar, Karawang, Kutai Barat, Mukomuko, Nias Selatan, Ogan Komering Ulu, Pandeglang, Rokan Hilir, Sorong Selatan, dan Sumba Barat Daya.
Selain itu, 62 kabupaten ditenggeri satu bacaleg eks koruptor. Perinciannya adalah Aceh Selatan, Aru, Bandung, Banggai Laut, Bangka Tengah, Banjarnegara, Bantul, Batang, Batu Bara, Belu, Bengkalis, Bengkulu Selatan, Bengkulu Utara, Bima, Bone Bolango, Buleleng, Bulungan, Buru, Blora, Blitar, dan Brebes.
Kemudian Deli Serdang, Dompu, Gunungkidul, Klaten, Konawe Utara, Kuantan Singingi, Lampung Barat, Lampung Selatan, Lebak, Lembata, Limapuluh Kota, Luwu Timur, Lingga, Madiun, Majalengka, Mamuju, Mamuju Tengah, Manggarai Barat, Mentawai, dan Morowali Utara.
Selanjutnya Nganjuk, Padang Lawas, Penukal Abab Lematang Ilir, Rembang, Sanggau, Seram Bagian Barat, Serdang Bedagai, Sidenreng Rappang, Sintang, Sigi, Solok, Solok Selatan, Sragen, Sumba Barat, Takalar, Tanggamus, Tasikmalaya, Toba Samosir, Toraja Utara, Tulang Bawang Barat.
Bacaleg dari kalangan eks koruptor untuk DPRD Kota masing-masing di Kota Cilegon (2), Gorontalo (2), Kupang (2), Lamongan (4), Manado (1), Medan (1), Pagar Alam (3), Prabumulih (1), Sabang (1), Sukabumi (1), Tebing Tinggi (1), dan Tual (1).
Siapa yang dapat menjamin surat suara nanti dihiasi label mantan korupsi? Aduhai, meminjam pendapat Ahmad Bastari Suan, kata itu terlalu bernilai rasa tinggi.
Di sinilah pentingnya komitmen partai.
Akan tetapi, apakah ada partai di Indonesia yang suci dari hama "tikus berdasi"? Hingga saat ini tidak ada. Kalaupun PSI bersih dari bacaleg bekas napi koruptor, itu lantaran partai ini masih gres. Selanjutnya, kita lihat saja nanti! [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H