Barangsiapa merasa memiliki maka bersiaplah untuk kehilangan. Dan, itu menyakitkan.
~ K.H. Zainuddin M.Z., UlamaÂ
Dulu, semasa remaja, saya suka merasa aneh acapkali mendengar seseorang yang sok arif dan bijak menasihati orang lain. Ada teman patah hati, ia nasihati. Ada yang kehilangan uang di kelas, ia nasihati. Ada yang merisak teman sekelas, ia nasihati. Ada yang malas-malasan mengerjakan PR, ia nasihati. Pendek kata, semua pernah dinasihati olehnya.
Ajaibnya, kalimat yang ia gunakan untuk menasihati orang lain selalu serupa.Â
Kalau ada yang diledek atau diejek atau dirisak, nasihatnya itu-itu saja. Jika bukan "sabar", pasti "tidak usah diambil hati". Kalau ada yang merasa sakit karena ditolak gebetan, kalimatnya pun selalu serumpun. Jika bukan "kalau takut ditolak, ya, jangan coba-coba jatuh cinta", pasti "daripada mengurusi hatimu yang patah, mending belajar lebih tekun". Selalu begitu.
Ia, yang saya maksud dalam pengantar di atas, adalah penasihat terbaik di sekolah saya. Negara menggajinya memang untuk menasihati. Ia punya tempat khusus atau ruangan khusus di sekolah saya. Nama ruangannya: Guru BP.
Ada satu nasihat beliau yang tidak pernah saya lupakan. Jika tidak ingin kehilangan, ya, jangan coba-coba memiliki. Dulu, semasa SMA, nasihat itu saya sangka meminta kami, murid-muridnya, untuk hidup miskin atau melarat atau tidak punya apa-apa. Setelah bertahun-tahun tidak berjumpa dengan beliau, barulah saya memahami nasihat bertuah itu.Â
Nasihat itu relevan bagi siapa saja. Nasihat itu tidak memandang latar suku, ras, agama, atau status sosial kita. Orang miskin yang tinggal di gubuk reot saja masih memiliki sesuatu. Andaipun gubuk reotnya tidak kita hitung sebagai benda berharga, ia masih punya harta berupa nyawa. Jangan pula mengira tiap-tiap orang miskin tidak punya harta berharga selain nyawa. Lihat saja Lalu Muhammad Zohri, dia punya harta tak terbeli. Nama hartanya: permata Ibu Pertiwi.
Nasihat itu baru saja disemburkan teman saya kepada temannya yang juga teman saya. Gara-gara sepele sebenarnya. Temannya teman saya yang juga teman saya itu kalah taruhan. Pada babak semifinal, antara Prancis dan Belgia, ia meminta saran tentang tim mana yang ditaksir bakal menang. Spontan saya jawab Belgia. Ternyata saya keliru. Belgia kalah tipis. Pada semifinal kedua antara Inggris dan Kroasia, ia kembali mendatangi saya dan menanyakan tim dukungan saya. Kontan saja jawab Kroasia. Ia cengengesan meninggalkan saya sambil bersiul-siul. Ternyata ia taruhan lagi. Kali ini ia memilih Inggris. Ternyata ia kalah lagi.
Teman saya, yang menang taruhan, dengan enteng berkata, "Kalah atau menang itu biasa."Â
Temannya teman saya menjawab, "Kamu bisa berkata seperti itu karena menang. Coba kamu yang kalah."
Pada saat itulah saya tidak dapat menahan diri. Seketika mengalir nasihat yang pernah dituturkan Kiai Sejuta Umat, K.H. Zainuddin, M.Z. Barangsiapa merasa memiliki, tutur beliau dalam satu rekaman ceramahnya, maka bersiap-siaplah kehilangan.
Temannya teman saya yang juga teman saya itu bertanya kepada saya, "Apa alasanmu memilih Kroasia yang akan menang di babak final."
"Mau berapa?" Kata saya balas bertanya.
"Secuil saja," katanya dengan tatap mengejek.
Saya menarik napas dan menjawab pelan. "Saya kasih tiga cuil alasan mengapa Kroasia pantas menjadi juara!"
Jangan engkau berpikir tentang apa yang engkau katakan, pikirkan juga caramu mengatakannya.
~ K.H. Ahmad Mustofa Bisri, Ulama
Pasukan Vatreni alias Kroasia seperti kelapa. Makin tua makin bersantan. Rataan usia anak-anak besutan Dalic ini punya rataan usia 27,9 tahun. Sementara itu, rataan usia serdadu Les Bleus mencapai 26 tahun. Tentu kalian sering mendengar pepatah sudah banyak merasakan asam garam. Tentu kalian juga kerap membaca petuah pengalaman adalah guru yang terbaik. Timnas Kroasia sudah banyak makan asam-garam.
Modric dkk. juga lebih berpengalaman dibanding skuat asuhan Deschamps. Rata-rata pemain Kroasia merupakan andalah di klub masing-masing.Â
Rakitic, misalnya, hampir tak tergantikan di lapangan tengah Barcelona. Perisic merupakan andalah Inter Milan, begitu pula dengan Brozovic. Mandzukic masih berkuku di Juventus. Apalagi Modric. Ia roh permainan Real Madrid. Jangan lupa, menit bermain memengaruhi keterampilan, ketenangan, dan kebugaran pemain. Belum lagi mengungkit kekuatan mental setiap mengikuti laga krusial.
Jangan dikira karena rataan usia lebih tua sehingga Vida dan kolega gampang letih. Mereka sudah terbukti tangguh. Tiga laga dalam babak gugur semuanya dilewati dengan babak tambahan waktu. Justru Prancis yang harus ketar-ketir. Mereka harus menang dalam 90 menit permainan normal. Jika tidak, mereka bisa kehabisan tenaga.
Tidak, tidak. Jangan sekali-kali mengatakan bahwa pemain senior mudah kehabisan napas. Ingat, hati-hatilah dengan apa yang kalian katakan. Pikirkan dulu sebelum mengatakan sesuatu dan, seperti tutur Gus Mus, pikirkan pula cara mengatakannya.
Manusia jangan diharapkan bisa sama semua, justru dengan perbedaan-perbedaan itu bisa jadi seni yang indah.
~ K.H. Maimun Zubair, Ulama
Memang banyak yang menyatakan bahwa Prancis dihuni oleh para pemain bintang. Tunggu dulu. Itu penghinaan. Apakah Kroasia tidak dihuni pemain bintang? Pasukan Vatreni, seperti diungkap cnnindonesia.com dan Bung Hendro Santoso, juga dihuni oleh pemain bintang. Saya menyebutnya, Barisan Para Juara. Bayangkan, 23 pemain Vatreni mengoleksi 131 gelar juara di level klub. Adapun 23 pemain Prancis mengoleksi 111 gelar juara. Selisihnya jauh, beda 20 gelar.
Harus kita ingat bahwa pemain yang turut mempersembahkan gelar bagi klubnya adalah pemain yang bermental juara. Siapa yang menyangkal besarnya andil Modric atas tiga gelar Liga Champions Eropa yang diraih Real Madrid secara beruntun. Bahkan Rakitic juga meraih gelar Liga Champions bersama Barcelona.Â
Pembeda Prancis dan Kroasia hanya jumlah partisipasi dan gelar di Piala Dunia. Tetapi, itu bisa dimaklumi. Kroasia negara baru, sedikit pula jumlah penduduknya. Tetapi mental mereka terasah karena pernah melewati masa-masa pahit ketika Kroasia melepaskan diri dari Yugoslavia.
Rakitic dan Modric memang berseteru di klub, sebagaimana Varane dan Umtiti di Prancis, namun mereka sepadu, senasib seperjuangan, dan sehati tatkala membela timnas. Manusia memang tidak bisa diharapkan semuanya sama.
 Jika hal itu terjadi, tidak ada pesepak bola yang sudi menjadi kiper atau bek. Semua beramai-ramai menjadi gelandang atau penyerang. Justru dengan perbedaan itulah, seperti nasihat Kiai Maimun Zubair, hidup menjelma seni yang indah.
Soalnya bukan setuju atau tidak setuju, tapi sekubu atau tidak sekubu.
~ K.H. Ahmad Mustofa Bisri, Ulama
Seorang anak muda berusia 17 tahun, yang saat itu dikenal arogan dan angkuh, menjadi bagian timnas Brasil pada Piala Dunia 1958. Enam gol ia sarangkan ke jala lawan selama babak gugur. Bahkan ia mencetak tiga gol di babak semifinal dan dwigol di babak final.Â
Meskipun tidak terpilih sebagai pencetak gol terbanyak, pemuda belasan tahun itu menorehkan sejarah bagi bangsanya. Tahun itu, kali pertama Brasil merayakan gelar juara dunia. Anak muda itu sekarang sudah tua. Kita mengenalnya sebagai Pele.
Dua puluh tahun setelahnya, juara baru kembali lahir. Giliran Mario Kempes yang beraksi di negaranya sendiri, saat itu Argentina selaku tuan rumah, dan akhirnya Tim Tango meraih gelar juara dunia pertama pada Piala Dunia 1978.Â
Dua puluh tahun kemudian, sejarah berulang. Adalah Zidane dan kolega yang mengangkat piala dan berpesta merayakan gelar pertama mereka pada Piala Dunia 1998. Salah satu pemain yang mencicip gelar juara dan sekarang ada di timnas Prancis adalah Deschamps. Tetapi selaku pelatih, bukan pemain.
Siklus itu kini tiba pada edarnya. Sudah dua puluh tahun berlalu. Jika tuah siklus itu masih mujarab, tahun bakal ada juara baru. Saya sudah menyatakan itu dalam tulisan saya tentang Piala Dunia 2018. Memang bukan ramalan, memang sekadar prakira, tetapi kadang yang sekadar justru menjadi besar.Â
Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit.
"Saya tetap memilih Prancis," katanya mendesah.
Saya mengedikkan bahu. "Terserah. Tidak ada paksaan dalam beragama."
Ia mendelik. "Sepak bola."
"Maaf," kata saya. "Tidak apa-apa kita berbeda pendapat. Manusia memang di mana-mana kerap berselisih. Mengutip petuah Gus Mus, masalahnya bukan karena setuju atau tidak setuj, melainkan karena sekubu dan tidak sekubu."
Temannya teman saya itu mendelik lagi. "Jadi taruhan?"
Saya menggeleng. "Ini cuma Piala Dunia, Bung. Nikmati saja. Dunia tidak perlu dipertaruhkan karena suatu saat akan kita tinggalkan."
"Jangan taruhan," timpal teman saya, "cukup jangan nonton bola tanpa kacang garuda."
Temannya teman saya yang juga teman saya itu menggeram seperti singa lapar dan mengambil sepiring kacang garuda di atas meja dan melarikannya ke halaman. []
Catatan: Semula tulisan ini dihajatkan tayang tadi petang, tetapi beberapa masalah menghajar ingatan saya. Maka, jadilah tulisan ini santapan pembuka menjelang final.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H