Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Perang Para Kesatria di Rusia

15 Juli 2018   11:44 Diperbarui: 15 Juli 2018   13:03 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mereka memang favorit juara, tetapi kami akan mengerahkan kemampuan terbaik untuk mengejutkan mereka. Kami punya waktu tiga hari untuk mempersiapkan diri. Mimpi kami sangat dekat sekarang.

~ Ivan Perisic, Penyerang Kroasia

Setelah 63 laga berlalu, setelah drama terus-menerus tercipta, setelah tim-tim unggulan pasrah menelan nestapa, Piala Dunia 2018 di Rusia kini menyisakan satu laga. Laga pamungkas sudah di depan mata. Dua tim terbaik, Prancis dan Kroasia, akan bertarung habis-habisan untuk memperebutkan singgasana tertinggi pada Piala Dunia FIFA 2018 di Rusia.

Prancis, pada Piala Dunia 1998 lalu kala menjadi tuan rumah, sudah meraih gelar pertama selaku juara dunia. Kroasia, 20 tahun lalu saat pertama kali menjadi peserta Piala Dunia, gagal ke babak final karena dihentikan oleh Prancis pada babak semifinal. Sebanyak 81.000 penonton di Stadion Luzhniki, nanti malam, akan menjadi saksi siapa yang akan mengangkat piala.

Ibarat musafir yang sudah melewati padang pasir dan amuk badai, kedua kesebelasan kini sudah mendekati akhir tualang. Baik Prancis maupun Kroasia sama-sama berambisi menjadi juara. Perjuangan tidak boleh sia-sia. Pengorbanan tidak boleh percuma.

Akan tetapi, partai puncak bukan sekadar laga terakhir. Bukan pula pertarungan penentu siapa yang berhak menjadi juara atau layak mengangkat piala. Laga yang dipimpin oleh Nestor Pitana, wasit asal Argentina yang juga memimpin laga perdana, merupakan laga yang dibumbui hasrat balas dendam. Dendam tersulut gara-gara Prancis, pada 1998, melumpuhkan Kroasia 2-1 di babak semifinal.

Tak heran apabila Ivan Perisic, juru gedor Kroasia, berjanji akan memberikan kejutan. 

Prancis lebih diunggulkan, pemain bintang merata di semua lini, juru taktik punya seribu satu akal dalam meramu strategi, namun ketiga hal itu tidak serta-merta melicinkan dan melapangkan jalan ke tangga juara. Mimpi kami sangat dekat sekarang. Begitu kata Perisic seperti dilansir oleh Four Four Two.

Sekarang, mari kita kulik kekuatan kedua kesebelasan.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Sengat Serangan

Kami harus bertahan, tetapi lewat serangan.

~ Zlatko Dalic, Pelatih Kroasia

Les Bleus, julukan timnas Prancis, ingin menambah jumlah bintang di dada. Semenjak berpesta di podium juara pada Piala Dunia 1998, pasukan Ayam Jantan baru menginjak babak final lagi pada 2006. Hanya saja, mereka gagal menyamai capaian Uruguay dan Argentina. Tahun ini mereka berpeluang mengulang pesta asalkan dapat melumpuhkan Kroasia. Hanya saja, itu bukan perkara mudah.

Dalam urusan daya serang, gedoran Kroasia lebih menyengat dibanding Prancis. Vatreni punya 100 percobaan tembakan ke gawang lawan, sedangkan Prancis cuma 75 kali percobaan. Separuh dari percobaan tembakan Kroasia meleset dari target. Adapun Prancis punya 35 tembakan yang tidak tepat sasaran. Meski begitu, Prancis bermain lebih efisien. Percobaan yang tepat sasaran mencapai 24 tembakan, sementara Kroasia hanya 26 tembakan.

Daya sengat serangan jelas berkait paut dengan jumlah gol. Sungguhpun kehadiran Dewi Fortuna ikut menentukan, gol akan lahir dari seruntun percobaan. Sontekan anak asuh Dalic yang diblok atau ditahan lawan lebih banyak ketimbang sepakan anak asuh Deschamps. Sebanyak 24 tembakan Kroasia dibendung lawan, sementara Prancis sebanyak 16 tembakan.

Berdasarkan fakta yang tersaji dalam enam laga itu, serangan Kroasia lebih menjanjikan. Prancis, sebagaimana terlihat pada laga melawan Belgia di semifinal, cenderung bermain taktis dan pragmatis. Tidak heran apabila Dalic bersikukuh bahwa yang mereka sebut bertahan sebenarnya adalah menyerang.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Aktraktif dan Produktif

Kami sudah punya satu bintang di kaus kami, tetapi bukan kami yang meraihnya. Kami ingin memetik bintang kami sendiri. 

~ Paul Pogba, Gelandang Prancis

Vatreni, julukan Kroasia, ingin menyematkan satu bintang di dada. Mereka mengusung tekad menjadi juara. Setelah berhasil mengisi satu slot di Piala Dunia 1998, baru kali ini Kroasia mencapai final. Pasukan Kuda Hitam dari Balkan akan merengkuh Piala Dunia asalkan mampu mengalahkan Prancis, sungguhpun itu bukan perkara mudah.

Prancis tentu tidak sudi mengalah. Dua tahun lalu, di Piala Eropa 2016, mereka sudah merasakan getir tak terperi akibat keok di babak final. Diunggulkan banyak pihak, diramal bakal juara, ternyata ditundukkan Portugal. Patut diingat, tim yang akan dihadapi nanti malam lebih trengginas daripada Portugal.

Selain itu, Kuda Hitam dari Balkan adalah tim tersubur kedua setelah Belgia hingga babak semifinal. Mereka menceploskan 12 gol ke gawang lawan, sementara Prancis hanya 10 kali memaksa kiper lawan melongo karena kebobolan. Uniknya, kedua tim sama-sama dihadiahi sebiji gol bunuh diri oleh tim lawan dan sama-sama mencetak satu gol dari eksekusi bola mati. Akan tetapi, kedua finalis berbeda pada perkara penalti. Prancis punya dua gol penalti, sedangkan Kroasia hanya satu penalti.

Apabila Prancis bersungguh-sungguh ingin menambah satu bintang di dada, seperti yang diungkapkan Pogba di FIFA.com, mereka harus lebih produktif. Fakta selama enam laga menunjukkan keunggulan Kroasia dari sisi produktivitas.

Jangan sampai Prancis meringis atau menangis karena memilih bermain pragmatis.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Fokus dan Disiplin

Ia bermain fantastis di turnamen (Piala Dunia) hingga sejauh ini. Saya sangat senang untuknya. 

~ Jurgen Klopp, Manajer Liverpool

Kadung masuk final, kedua tim mesti menjauhi kata gagal. Seluruh tenaga harus dikuras, semua keterampilan olah bola biar diumbar, dan segala kemampuan mesti diperas. Tidak boleh ada yang disimpan-simpan, apalagi ditahan-tahan. Kalau perlu, jegal lawan tanpa mencederai dan rebut bola tanpa melukai. Lawan tidak boleh dibiarkan berlama-lama memainkan bola.

Di situlah pentingnya daya juang dan daya tarung. 

Prancis nyaris mengutamakan serangan balik mematikan lewat kecepatan Mbappe dan Griezmann. Pada laga melawan Belgia, Varane dan kolega lebih banyak menunggu. Kroasia memperlihatkan sisi sebaliknya. Walaupun kemasukan bola di awal babak pertama, Vida dan kolega tidak melemah. Serangan bagai gulung ombak menerjang bertubi-tubi.

Hingga semifinal, daya tarung pasukan Kuda Hitam juga lebih menggigit dibanding pasukan Ayam Jantan. Vida dkk. melakukan 101 kali pelanggaran dan 93 kali dilanggar. Varane dkk. melanggar pemain lawan sebanyak 79 kali dan 91 kali dilanggar. 

Tidak heran jika Vida dan kolega diganjar 14 kartu kuning, sedangkan Prancis cuma menerima 10 kartu kuning. Meskipun ngotot dan alot, Vatreni belum menerima kartu merah langsung maupun akumulasi dari kartu kuning.

Tandem Vida di jantung pertahanan Kroasia, Lovren, merupakan bek dengan intersep, tekel, dan sapuan terbanyak sepanjang enam laga. Jangan heran kalau Klopp, pelatih Lovren di Liverpool, di Four Four Two memuji Lovren setinggi langit. 

Jika bernapsu menang, Prancis tidak boleh terlalu menunggu serangan lawan. Akibatnya bisa fatal. Apalagi berleha-leha setelah lebih dulu mencetak gol ke gawang Kroasia.

Ringkik kuda memang tidak semembahana kokok ayam, tetapi getarnya lebih menggentarkan.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Komposisi Ideal

Saya tidak perlu mengeluh tentang berada di tempat yang tepat dan pada saat yang tepat pula. Itu bisa saja merupakan keberuntungan. Tetapi, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.

~ Didier Deschamps, Pelatih Prancis

Kadang kala dominasi atas bola, serangan yang berentet dan beruntun, serta gempuran yang tak selesai-selesai belum tentu menyuguhkan hasil yang diharapkan. 

Lihatlah Argentina dan Belgia. Kurang apa dominasi dan serangan kedua kesebelasan itu tatkala menghadapi Prancis. Hasilnya, justru kedua kesebelasan itulah yang menangis.

Karena menghendaki soliditas pertahanan dan mengandalkan serangan balik, Deschamps tidak akan banyak mengutak-atik pemain. Lloris akan tetap berdiri di bawa mistar gawang. Varane dan Umtiti di jantung pertahanan, sedangkan Hernandez dan Pavard menjaga sisi luar pertahanan. 

Kante masih bertugas mengangkut air dan menyiram gelandang serang lawan. Pogba sesekali naik sesekali turun, Matuidi juga begitu. Mbappe dan Griezmann mengincar peluang melesat bersama bola ke gawang lawan, sementara Giroud menunggu di kotak penalti bukan untuk membuang-buang peluang.

Karena tahu anak-anak asuhnya adalah sekawanan petarung, Dalic juga tidak akan merombak sebelas pemain awal. Subasic masih tetap selaku benteng terakhir. Di depannya berdiri sepasang tameng, Lovren dan Vida. Sisi luar pertahanan dipercayakan kepada Si Laju Strinic dan Si Lesat Vrsaljko. 

Brozovic yang elegan, Rakitic yang brilian, dan Modric sang gerilyawan tetap mengisi pos lapangan tengah. Adapun trisula Rebic, Mandzukic, dan Perisic dipercaya sebagai pemorat-marit pertahanan lawan.

Genderang perang sudah ditabuh. Gelanggang sudah siap. Pemain dan pelatih harus mempersembahkan yang terbaik. Bab terakhir Piala Dunia 2018 sudah di depan mata. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Kita tidak tahu siapa yang akan menorehkan tinta emas. Bisa Prancis, bisa Kroasia.

Meski masih teka-teki, saya berharap akan lahir sejarah baru di Rusia. Siap-siap saja menjadi penyaksi. Bukan sejarah Prancis menemukan bintang kedua, melainkan sejarah lahirnya juara dunia baru bernama Kroasia. Delapan negara penguasa takhta sepak bola tertinggi masih terhitung kurang. Biarkan Kroasia menjadikannya sembilan. 

Siap-siap saja merasakan kejutan, sebab Prancis jauh lebih diunggulkan. Peringkatnya di Rangking FIFA pun jauh lebih tinggi dibanding Kroasia. Dan, satu hal yang patut kita camkan, sesuatu yang lebih tinggi biasanya lebih berasa sakitnya tatkala terjatuh.

Namun, ada satu hal yang perlu lebih disiapkan pencinta sepak bola di Nusantara: jangan nonton bola tanpa Kacang Garuda. [kp]

Jika Sahabat sempat, sila singgah di sini:

Lima Alasan Kroasia Bisa Lolos ke Final

Tetap Belgia, Tetap Bahagia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun