Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Takdir Kotak Kosong pada Pilkada 2018

10 Juli 2018   16:14 Diperbarui: 10 Juli 2018   18:02 1078
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita memang lebih mahir mengingat kekalahan, kesedihan, dan kepedihan dibanding kemenangan, ketenangan, dan kesenangan.

Ingar-bingar Pilkada Serentak 2018 sudah reda. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sudah menyelesaikan babak akhir Pilkada, yakni penghitungan rekapitulasi hasil suara. Gontok-gontokan dan ejek-mengejek di media sosial mulai redup, walaupun sesekali asapnya masih berpendar-pendar di dinding Facebook atau di linikala Twitter.

Jauh di akar rumput, jejak persaingan masih berasa. Seperti bayangan tubuh di siang hari bolong, antara ada dan tiada. Dikira sudah tiada, ternyata masih ada. Dianggap sudah tiada, ternyata masih berasa. Di Jeneponto, misalnya, ada oknum Lurah yang menolak melayani warganya. Gara-garanya, warga yang meminta tanda tangannya ditengarai beda pilihaan. Kendatipun belakangan Pak Lurah menyangkal video yang telanjur viral di media sosial. Kata beliau, ia cuma bercanda.

Persaingan memang berpotensi menguji ketangguhan kewarasan kita. 

Setelah pilkada berlalu, potensi ujian bertambah. Paslon terpilih sering kali abai pada warga yang bukan pemilihnya. Paslon yang kalah memeram dendam hingga bertahun-tahun. Yang menang dan yang kalah terganggu kewarasannya. Ada yang kadarnya kecil, mungkin seupil; ada yang kadarnya besar, mungkin segunung.

Akan tetapi, tulisan sepele ini tidak akan mengulas hiruk-pikuk paslon pemenang. Tulisan sepele ini justru hendak menyingkap nasib kotak kosong alias kolom kosong yang ikut pilkada. Tiga Pilwali (Pemilihan Wali Kota/Wakil Wali Kota) dan 13 Pilbup (Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati) menjadi ajang unjuk gigi Si Kotak Kosong dalam Pilkada Serentak 2018.

***

Kehadiran Kotak Kosong dalam Pilkada Serentak 

Hidup, seperti pernyataan Chairil Anwar dalam sebuah puisinya, hanya menunda kekalahan. Yang sekarang menang, besok belum tentu menang lagi. Yang sekarang kalah, besok tidak pasti tetap akan kalah. 

Mengapa kotak kosong muncul? Jawabannya sederhana, karena cuma satu calon yang maju di pilkada. Kalau saja ada dua apslon, pasti tidak akan disediakan kolom kosong bagi pemilih. Tidak mungkin juga penyelenggara pilkada hanya menaruh satu foto dalam surat suara. Itu melanggar filosofi pilih-memilih. Siswa SD saja tahu arti dan hakikat pilih memilih. Memilih berarti ada pilihan. Ada pilihan berarti ada sesuatu yang dipilih. Dan, sesuatu yang dipilih itu tidak boleh satu. 

Kalau hanya ada satu gambar paslon di surat suara, lumrah disebut calon tunggal, maka nama yang tepat adalah terpaksa memilih. Itu berbenturan dengan hakikat pilih-memilih. Hakikat memilih adalah kerelaan, bukan keterpaksaan. Oleh karena itu, suka atau tidak, paslon tunggal harus dicarikan lawan tanding. Lahirlah Si Kotak Kosong. KPU dan peraturan tentang pilkada menyebutnya Si Kolom Kosong. 

Namanya juga kosong maka tidak ada gambar apa-apa. Tidak ada kapas atau padi, tidak ada kerbau atau sapi. Pendek kata, kosong.

Sebenarnya ada jawaban yang lebih berat. Pertama, kekuatan satu paslon bikin keder calon lain untuk turun ke gelanggang tarung. Dari 16 paslon yang ditantang Si Kotak Kosong, cuma tiga yang bukan petahana. Keberadaan petahana jelas-jelas diperhitungkan oleh calon pemimpin di daerah. Daripada keok di tengah jalan, lebih baik tidak mencalonkan diri. 

Ikut pilkada butuh biaya banyak. Kalau jelas-jelas akan kalah, buat apa membuang-buang duit, memeras pikiran, serta menguras waktu dan tenaga. 

Kedua, sulit mencari dukungan. Salah satu penyebab utamanya adalah mahar dan surat dukungan. Untuk meminang partai pengusung butuh mahar yang tidak sedikit. Sementara itu, mengumpulkan foto kopi tanda pengenal dan surat dukungan juga bukan perkara mudah. Daripada repot-repot, biarkan saja Si Kotak Kosong yang maju melawan petahana. Hanya dua kabupaten dan satu kota yang paslon tunggalnya bukan petahana. 

Pada mulanya, Pilwali di Kota Makassar sebenarnya bukan calon tunggal murni. Petahana ikut maju. Apa lacur, KPU mengeliminasi alias membatalkan keikutsertaan petahana karena pelanggaran pilkada. Keputusan MA menjadi sandara bagi KPU untuk tetap menggelar Pilwali dengan satu paslon. Tidak ada alasan menunda Pilwali hingga Pilkada Serentak 2020. Kursi Wali Kota tidak boleh kosong. Itu sebabnya Si Kotak Kosong ikut meramaikan kontestasi pilih-memilih di Kota Makassar.

Bagaimana cara Si Kotak Kosong berkampanye? Oke, kita teruskan obrolan ringan ini.

***

Ketika Kotak Kosong Ikut Kampanye

Apa pun alasannya, pemilih Si Kotak Kosong telah menyalurkan aspirasi politiknya. Ekspresi kedewasaan berpolitik sudah ditunjukkan. Partai politik mesti mengubah cara pandang dalam mengusung tokoh selaku calon.

Paslon yang melawan Si Kotak Kosong mestinya bersukacita. Betapa tidak, biaya kampanye menyusut. Tidak perlu mobilisasi massa, tidak harus mencetak baliho ribuan lembar, tidak usah repot-repot ikut debat kandidat. Memang tetap ada biaya yang dikeluarkan, tetapi tidak sebanyak ongkos yang ditanggung oleh paslon yang bertarung melawan paslon lain.

Mustahil meminta Si Kotak Kosong untuk mengimbau pendukungnya membanjiri lapangan dan menyaksikan goyang para biduan. Mustahil Si Kotak Kosong datang ke tukang sablon atau tukang cetak digital untuk memesan baliho. Lebih mustahil lagi mengharapkan Si Kotak Kosong ikut debat kandidat. Jadilah Si Kotak Kosong tidak ikut kampanye.

Namun, jangan kira Si Kotak Kosong tidak punya pendukung. Lawan politik petahana, yang ragu-ragu atau tidak mau maju, diam-diam akan mendukung Si Kotak Kosong. Calon yang tumbang akibat proses administrasi atau tidak memenuhi persyaratan lewat jalur independen pasti memilih Si Kotak Kosong. Warga kota atau kabupaten yang tidak puas pada prestasi petahana atau meragukan kredibilitas paslon tunggal cenderung memilih Si Kotak Kosong.

Pendek kata, pendukung Si Kotak Kosong bernama laten. Bergerak diam-diam.

Paslon yang akan melawan kotak kosong tidak diperbolehkan melakukan kampanye sebagaimana yang biasa dilakukan dalam pilkada pada umumnya. Pasalnya, mereka dihadapkan dengan Si Kolom Kosong. Jadi tidak ada kampanye, karena Si Kotak Kosong tidak bisa kampanye.

Paslon tunggal hanya perlu menggalang iman pemilih agar tidak kepincut memilih Si Kotak Kosong. Meskipun demikian, paslon tunggal harus waspada. Tidak boleh ongkang-ongkang kaki saja. Keringat tetap mesti dikucurkan. Duit juga. Entah buat membeli kopi, entah untuk mengisi amplop saat kondangan ke hajatan warga. Mesin partai juga harus tetap bergerak. Saksi harus dipersiapkan karena yang dilawan justru tidak terlihat.

Tak ayal, Si Kotak Kosong sukses bikin ketar-ketir hati lawannya.

***

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Kotak Kosong Keok 

Tidak semua kosong itu tidak berisi. Tidak percaya? Lihatlah Pilkada. Kotak Kosong selalu ada isinya, meskipun tidak banyak.

Paslon tunggal Willem Wandik-Alus Murib menang mutlak di Pilbup Puncak, Provinsi Papua. Kotak Kosong keok, hanya meraih 9,90% suara. Itu pun sudah lumayan. Pemilih yang tidak berhasrat mencontreng tetap ikut pesta demokrasi dan memilih Si Kotak Kosong. Kemenangan 90,10% memang kemenangan besar, namun harus jadi cermin bagi paslon terpilih. Diakui atau tidak, ada warga yang, barangkali, tidak puas dengan prestasinya pada periode pertama selaku Bupati.

Boleh jadi begitu. Sudah didukung 10 partai masih saja ada yang berbeda pilihan.

Iti Octavia, petahana di Kabupaten Lebak, harus waspada karena 23,01%  warga Lebak menunjuk Kotak Kosong sebagai pilihan. Persentase itu sangat besar. Itu bahaya laten bagi klan Jayabaya. Selaku penerus dinasti Mulyadi Jayabaya, Iti Octavia harus menunjukkan prestasi lebih selama periode keduanya menjadi Bupati Lebak. Dukungan 10 partai pengusung, masing-masing PKB, PKS, Hanura, PDIP, Golkar, PAN, PPP, Demokrat, NasDem, dan Gerindra, ternyata tidak menghadirkan kemenangan mutlak.

Beda lagi dengan Andar Amin Harahap. Memang calon yang berpasangan dengan Hariro Harahap itu bukanlah petahana, namun nuansa petahana tetap membayanginya. Ayahnya, Bachrum Harahap, adalah Bupati Padang Lawas Utara selama dua periode. Andar sendiri juga bukan calon yang baru terjun ke dunia pilih-memilih. Sebelumnya, beliau adalah Wali Kota Padangsidimpuan. Faktanya, Kotak Kosong sanggup meraup 19,88% suara.

Pasangan Ahmed Zaki-Romli juga layak mawas diri. Petahana Bupati Tangerang itu cuma memperoleh 941.804 suara sah. Hanya menang sebesar 83,72% dari Kotak Kosong. Hasil penghitungan rekapitulasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Tangerang, Rabu (4/7/2018), memastikan bahwa Kotak Kosong meraih 16,28%. Suara sah yang diraup mencapai 183.095 suara. Bayangkan, seratus ribu lebih pemilih mewakilkan suaranya kepada Si Kotak Kosong.

Bagaimana dengan petahana lain? Silakan lihat tabel di atas. Angka tidak mungkin berbohong. Memang kehadiran Kotak Kosong di beberapa daerah tidak memberikan perlawanan berarti, namun di beberapa daerah tidak dapat dianggap enteng.

***

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Kotak Kosong Menang Mutlak

Pemilih tidak bisa dipaksa memilih paslon tunggal. Memilih Kolom Kosong adalah tindakan yang sah. Suaranya juga sah. 

Ternyata Si Kotak Kosong bisa menang. Kemenangannya mutlak pula. Inilah kabar paling heboh sepanjang Pilkada Serentak 2018. Televisi serentak berkabar, koran ramai memberitakannya, warganet gempar dan geleng-geleng kepala. Peristiwa kemenangan Si Kotak Kosong terjadi di Pilwali Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan.

Paslon tunggal tumbang. Kotak Kosong meraih suara sebanyak 300.795, sedangkan calon tunggal hanya 264.245 suara. Selisihnya mencapai 36.898 suara. Jikalau Kotak Kosong meraup 53,23 persen suara, paslon tunggal yang diusung 10 partai besar kebagian 46,77 persen suara. Appi-Cicu gagal menang. Warga kota belum berhasrat memilih keduanya untuk memimpin Kota Anging Mammiri.

Meskipun demikian, Munafri Arifuddin alias Appi tidak perlu berkecil hati. Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Calon yang kalah masih dibolehkan maju lagi di pilkada serentak berikutnya. Dua tahun lagi. Masa yang cukup untuk memperkuat basis dukungan dan menarik lebih banyak simpati warga kota. Mana tahu pada Pilkada Serentak 2020 warga kota jatuh cinta kepada Manajer PSM Makassar itu.

Cinta itu angin, dapat berubah setiap saat. Kecuali cinta mati.

Mengapa Si Kotak Kosong menang? Jawabannya sederhana. Kita lihat saja Pasal 54D UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Paslon tunggal harus memperoleh suara lebih dari 50 persen suara sah kalau mau terpilih. Jika suara tidak mencapai lebih dari 50 persen, berarti gagal. Kata kalah rasanya terlalu pahit, jadi kita pilih kata gagal saja.

Bagaimana nasib paslon tunggal yang keok? Terima pilihan warga kota dengan lapang dada. Tidak usah sibuk mencari-cari kesalahan atau mengejar-ngejar kambing hitam. Benahi diri saja, lalu mencalonkan diri lagi dalam pemilihan berikutnya. Itu juga kalau masih ada dukungan dan syaahwat berkuasa masih bergelora.

Kapan lagi pilkada serentak diselenggarakan? Tahun 2020. Tahun depan, 2019, ada pesta besar yang akan diselenggarakan secara nasional. Pileg dan Pilpres. Jadi, perbanyak silaturahmi dan rajin berbagi. Entah berbagi senyum, entah berbagi sedekah.

Selamat, Kotak Kosong. Selamat juga bagi Warga Kota Makassar.

***

Suara rakyat suara Tuhan, bukan?

Begitulah. Kehadiran Si Kotak Kosong memberikan pencerahan bagi para pemilih, juga bagi para kandidat. Ada banyak hikmah yang dapat kita petik. Ketangguhan petahana, kekhawatiran calon penantang, kekalahan paslon tunggal, atau keteguhan warga yang memilih Si Kotak Kosong.

Ada 16 paslon yang bertarung melawan Si Kotak Kosong, 13 di Pilbup dan tiga di Pilwali. Sebanyak 15 paslon menang, bahkan ada yang kemenangannya mencapai 90%. Hanya ada satu paslon yang kalah, yakni paslon tunggal di Pilwali Kota Makassar. 

Apa yang terjadi? Warganet lebih mudah mengingat paslon yang kalah. Bukan lantaran jumlahnya yang cuma satu, melainkan karena kita memang dilimpahi karunia gampang mengenang kekalahan, kegagalan, dan kesedihan. 

Pesta demokrasi sudah menelan banyak biaya. Pemimpin sudah terpilih. Pilkada hanya tangga pertama. Tangga berikutnya jauh lebih penting: membangun Ibu Pertiwi. [kp]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun