(Brasil baru saja menang ketika prosa lirih ini mulai kutulis. Tiba-tiba aku rindu sepi setelah dua jam teriakan pemuja sepak bola memenuhi telinga. Aku rindu sepi yang mahir mengantarmu ke dalam ingatanku.
Tetapi jalan belum lengang dan televisi belum lengah. Sepi disembunyikan entah. Kamu dinyanyikan sunyi dalam rapuh rinduku. Aku tahu kamu marah, tetapi aku gagal tahu bagaimana menghentikan kemarahanmu.)
Tentang Kepalaku yang Sibuk Menata KenanganÂ
Sudah siang kala kudapati kepalaku sibuk menata ingatan tentangmu. Kenangan atas harapan masa depan ia tumpukkan di pojok kanan. Mungkin ia mengira harapan-harapan itu akan dibuahi kenyataan.Â
Kepalaku menumpukkan kenangan tentang pelukan penuh air mata di pojok kiri. Barangkali ia berharap jejak-jejak air mata tak dihapus oleh bisu waktu.
Mengapa kepalaku membiarkan bagian tengah tak diisi kenangan apa pun? Ruang itu tidak kosong. Bagian itu kusiapkam untuk ditempati rasa hampa atas kepergianmu.Â
Maka, hapuslah aku dari ingatanmu. Tetapi jangan pinta aku melupakanmu, sebab kamu surga bagi ingatanku.
***
Hidupku persis pemain sepak bola. Bakat tak cukup memadai untuk menggapai mimpi. Aku harus berlatih keras sepenuh hati. Itu pun bukan garansi keberhasilan. Aku masih butuh campur tangan nasib baik.
Bahkan tatkala aku dilimpahi berkah keberuntungan, aku masih harus berduel dengan kesementaraan.Â
Tengoklah nasib Ronaldo. Cemerlang di tiga laga awal, tak berdaya di babak gugur. Lihatlah Messi. Gemilang di klub dan terpuruk di timnas Argentina. Begitulah nasibku, seperti perih di hati Ronaldo dan Messi.
Kukira aku sedang berada di puncak cinta, menunggumu dengan hati penuh bunga, tersenyum membayangkan masa depan gemilang, berangan-angan tak akan ada masa-masa suram, lalu kamu gantung seluruh harapanku.Â
Dalam hal mencintaimu, aku berbakat. Aku pun berlatih keras mendekatimu, nasib baik pun sering menemaniku, namun semuanya tampak akan sia-sia.Â
Kamu seperti pelatih Portugal dan Argentina, Santos dan Sampaoli, yang pelit bicara.
***
Tentang Kita yang Tidak Ingin BerakhirÂ
Saat siang mulai terik, aku memastikan pilihan. Takdir memang suka menumbuk-numbukkan nasib kita pada pilih-memilih. Dan, aku memilihmu. Bagiku, Tuhan mengirim kamu sebagai yang terakhir.
Karena kamulah yang terakhir bagiku, maka aku tak ingin kita tiba pada yang berakhir. Entah sebagai yang diakhiri, entah sebagai yang mengakhiri. Bahkan bila salah satu di antara kita berpulang pada cinta-Nya, kujamin kamu tak akan hilang dari batinku.
Menjelang siang makin tengik, aku merindumu. Aku telah memilihmu sebagai yang terakhir, maka aku tidak ingin kita jadi yang berakhir.
Ketika prosa lirih ini selesai kutulis, timnas Jepang mungkin sudah terbang ke Tokyo. Aku menyukai semangat Inui. Aku senang melihat Nagatomo dan Honda. Keduanya sudah tua, tetapi semangat mereka masih anak muda.
Mungkin aku belum berhasil membahagiakan kamu, namun aku sukses mencintai kamu.)
Kandangrindu, 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H