Bahkan tatkala aku dilimpahi berkah keberuntungan, aku masih harus berduel dengan kesementaraan.Â
Tengoklah nasib Ronaldo. Cemerlang di tiga laga awal, tak berdaya di babak gugur. Lihatlah Messi. Gemilang di klub dan terpuruk di timnas Argentina. Begitulah nasibku, seperti perih di hati Ronaldo dan Messi.
Kukira aku sedang berada di puncak cinta, menunggumu dengan hati penuh bunga, tersenyum membayangkan masa depan gemilang, berangan-angan tak akan ada masa-masa suram, lalu kamu gantung seluruh harapanku.Â
Dalam hal mencintaimu, aku berbakat. Aku pun berlatih keras mendekatimu, nasib baik pun sering menemaniku, namun semuanya tampak akan sia-sia.Â
Kamu seperti pelatih Portugal dan Argentina, Santos dan Sampaoli, yang pelit bicara.
***
Tentang Kita yang Tidak Ingin BerakhirÂ
Saat siang mulai terik, aku memastikan pilihan. Takdir memang suka menumbuk-numbukkan nasib kita pada pilih-memilih. Dan, aku memilihmu. Bagiku, Tuhan mengirim kamu sebagai yang terakhir.
Karena kamulah yang terakhir bagiku, maka aku tak ingin kita tiba pada yang berakhir. Entah sebagai yang diakhiri, entah sebagai yang mengakhiri. Bahkan bila salah satu di antara kita berpulang pada cinta-Nya, kujamin kamu tak akan hilang dari batinku.
Menjelang siang makin tengik, aku merindumu. Aku telah memilihmu sebagai yang terakhir, maka aku tidak ingin kita jadi yang berakhir.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!