Apa yang kamu bayangkan saat menempuh perjalanan dari Nagrig ke Kairo demi berlatih menyepak bola?Â
Kamu sudah menentukan pilihan. Kamu korbankan masa remaja dan sekolahmu. Di Kairo, kamu belajar mengolah bola sekaligus belajar mengalah. Ya, mengalah hari ini demi masa depanyang lebih. Bukan untuk masa depan yang entah.
Bahkan kamu tinggalkan Chelsea demi peluang lebih sering  bermain di Fiorentina. Keputusanmu membuka mata banyak orang. Kamu sudah menunjukkan banyak hal. Maka, rayakanlah dengan berbahagia.Â
Kekalahan Mesir dari Rusia tidak perlu membuatmu tenggelam dalam telaga duka. Jalan masih panjang. Usiamu baru 26 tahun. Hitung-hitung Piala Dunia di Rusia sejenis wisata spiritual untuk mengasah diri.Â
Bahwa pada kalah kita belajar menyadari kekurangan. Bahwa pada kalah kita belajar menemukan kesalahan. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Tabah selalu, Mo.
(Ketika sampai di sini, aku baru saja menonton caramu merayakan gol. Asal dari tanah, mencium tanah penuh kesadaran, dan matamu berkaca-kaca. Segala-gala yang kamu dapatkan sekarang memang patut disyukuri.
Tetapi, sujud syukurmu itu jauh melampaui sekadar cium-mencium tanah. Betapa pun Chelsea membuka pintu lapang-lapang buat kepergianmu, kamu tak menaruh rasa disia-siakan di dasar hati.)
Masih ada laga terakhir di Grup A. Mesir melawan Arab Saudi. Tidak usah memaksa diri kalau bahumu masih nyeri. Rasanya ngeri bila laga hiburan itu justru jadi jembatan bagi cedera baru.Â
Setidaknya kamu sudah mencetak satu gol. Namamu sudah dicatat sejarah. Dulu ada satu negara yang gugur di babak penyisihan grup. Tidak bikin sebiji gol pula. Padahal statusnya juara bertahan.
Mending istirahat. Menang atau kalah sama saja, Mesir tetap gugur.Â