Kemarin kita mengobrol tentang penjara perasaan. Hari ini aku ingin mengajakmu pelesir ke Pulau Cinta. Kau harus ke sana. Harus.Â
Dalam hidup yang singkat ini, kita butuh harapan. Dan, harapan yang terbaik ada pada cinta di pulau itu. Bangunlah pada pagi hari, temukan pelukan ibumu. Kehangatan cinta akan menyambutmu. Jika kamu masih sering melihat mata ayahmu sebelum tidur, tataplah lekat-lekat, dan kehangatan cinta akan tertemu di sana. Bila kamu ingin kehangatan cinta yang berbeda, kamu sudah tahu di mana kamu bisa menemukannya: di hatiku.
Cinta memang bisa menjadi penjara bagi harapan-harapan kita, tapi cinta juga bisa menjadi pembuka jalan bagi harapan-harapan itu. Yang penting, di Pulau Cinta, kamu tahu kapan harus menyendiri dan kapan bersamaku.Â
Begitu pula dengan keinginan. Kita harus tahu kapan tidak boleh mengalah dan kapan mesti mengalah. Itulah bagian sulit dari mencintai, sebab kita harus membangun masa depan dari fondasi perasaan yang berbeda.
Di Pulau Cinta, kita akan tahu kapan harus memberi dan kapan mesti menerima.
(Ketika tiga prosa lirih ini selesai kutulis, televisi masih bernyanyi. Saudagar-saudagar berpeci tengah menjual ayat dan mengalirkan benci. Para pembenci mencaci apa saja yang mereka tidak suka. Para pencinta memuji segala-gala yang mereka suka. Politik memang mangga di belakang rumah. Yang kecut disukai ibu hamil muda, yang matang disukai banyak orang.
Matikan televisimu. Aku khawatir benci menular dan menjangkiti hatimu. Sudah cukup negara dihuni para pembela kepentingan sendiri. Sudah cukup ibu pertiwi dikelilingi para pencaci. Kita biarlah merawat cinta saja.)
Kota Hujan, 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H