Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Tami Memerinci Rindu Malah Dicocor Sendu

8 Juni 2018   00:26 Diperbarui: 8 Juni 2018   05:47 1614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Kutulis surat ini ketika petasan mendentum-dentum dan rindu mendentam-dentam. Kuharap kamu sudi membacanya. Tidak akan menyita waktumu, apalagi menyintas perasaanmu. O ya, Lebaran sudah melambaikan tangan. Maafkan semua kesalahan dan kekeliruanku selama ini.)

Remba yang bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. 

Sehat dan setialah selalu, sebab rindu butuh tubuh yang sehat dan cinta yang setia. Aku tidak ingin kehilangan lelaki semenyebalkan dan semenjengkelkan kamu. Lelaki yang lekas beraksi atas kata atau kalimat yang keliru, tetapi lambat dan lamban merespons perasaan rindu atau cemburu.

Eits, tetap tenang dan rileks.

Aku senang mengenalmu dan tenang mencintaimu. Semenyebalkan dan semenjengkelkan apa pun kamu, hatiku menolak berpaling darimu. Itu sekarang, entahlah nanti. Kita sadar, cinta seperti angin. Setiap saat bisa berubah arah.

(Tunggu sebentar, Yang. Mau minum dulu. Aku haus. Rindu sedang rajin mengeringkan tenggorokan.)

Remba, patriotku yang sopan dan kesatria.

Ketahuilah, Yang. Selama ini aku sering keliru menggunakan kata, sampai-sampai yang salah kukira sudah tepat. Asam berasa asing lantaran asem lebih lazim kudengar. Janggut berasa janggal karena jenggot lebih kerap kusebut. Itu sekadar menyebut contoh, ya.

Andai tidak bertemu denganmu, barangkali aku masih dan makin setia pada kesalahan berbahasa. Andai kamu tidak getol memberitahuku (dapat awalan dan akhiran jadi digabung, kan?), mungkin aku tetap abai dan tidak peduli. 

Terus terang, Yang, semula kurasa dicintai dan mencintai kamu adalah kesalahan. Kamu terlalu datar. Dingin. Tidak seperti anak muda kekinian. Bukan Gen Y atau Z yang milenial. Ajaibnya, kamu tak layak pula masuk Gen X. Kamu lahir ketika semua gelar akademik sudah migrasi ke belakang nama.

(Moga-moga kamu masih ingat guyonan kita tentang dr., ir., atau drs. yang dipindahkan ke belakang nama.

Tuh, mengerutkan kening lagi. Santai saja, Yang. Seduh kopi dulu, gih, biar sedih mengerak di dasar kalbumu.)

Remba yang patuh dan suka bermusyawarah.

Namun seiring laju waktu, aku yakin bahwa mencintaimu adalah anugerah. Yang semula asing jadi intim, yang semula aneh jadi akrab. Maksudku, kebiasaan berbahasa Indonesia. Jangan ngeres. 

Sekarang aku dapat membedakan sekalipun dan sekali pun.

Contoh bagi kata pertama: Aku akan selalu memaafkanmu, sekalipun kamu berkali-kali menyakitiku. Contoh penggunaan kata kedua: Meski berkali-kali menyakitiku, tidak sekali pun kamu meminta maaf.

(Hei, itu contoh kalimat. Jangan tersinggung, Yang.)

Remba yang rela menolong dan tabah.

Kamu benar. Kata yang salah mestinya tidak dikaprahkan. Makin dibiasakan, makin kaprah. Kalah racun karena kebiasaan. Alah bisa karena biasa.

Terima kasih sudah sering mengkritik kekeliruanku, Yang. Sekarang aku dapat membedakan mana yang tepat antara dimungkiri dan dipungkiri. Sebagian temanku, dan itu buanyak tenan, mengira kata dipungkiri yang tepat. Padahal itu keliru. Yang tepat adalah dimungkiri, sebab kata dasarnya ialah mungkir. Bukan pungkir.

Aku tahu itu karena sekarang aku sering membuka kamus. Lagi pula (bukan lagian dalam ragam tulisan, kan?), kamus sudah ringan. Enteng dibawa ke mana-mana. Kenapa bisa begitu? Jawabannya ringan. KBBI V bisa diakses setiap saat di gawai. Asal ada sinyal dan kuota. 

Hahaha....

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

(Biasa saja, Yang. Tidak usah sekagum itu. Pada dasarnya aku memang cerdas, kok.)

Remba yang rajin, terampil, dan gembira.

Kamu benar. Belum tentu semua yang sering kita dengar niscaya benar. Banyak yang mesti kita saring. Tidak buru-buru ditelan, tidak langsung dicerna. 

Kata juga begitu. Banyak yang sering mengeluhkan bau apek, padahal yang tepat adalah bau apak. Hanya saja, jangan siksa dirimu untuk mencari gulai ayam. Orang-orang sekarang mulai memakai gule, persis kebiasaan mengganti bulai dengan bule. Atau satai dengan sate.

Cinta juga begitu. Jangan mudah percaya pada kabar miring alias gosip. Aku memang suka dan kagum pada Gong Yo, bukan berarti aku mencintainya. Kamu juga menyukai dan mengagumi Suzy, belum tentu kamu mencintainya. 

Ah, sepertinya ini contoh yang Jaka Sembung bawa baki. Tidak nyambung, Ki. Tak apalah.

(Aku tahu, kamu sekarang tengah kagum kepadaku. Pasti gara-garanya cuma satu. Bahasa Indonesia-ku makin keren. Yeah!)

Remba yang rela menolong dan tabah.

Kita kembali pada kata salah yang dikaprahkan. Kamu tahu, Yang? Aku baru saja (bukan barusan dalam ragam tulisan, kan?) berdebat sengit dengan teman kerjaku. Gara-gara kata lembab dan sembab dalam laporannya.

Sudah kukatakan kepadanya bahwa yang tepat ialah lembap dan sembap. Uh, dia tidak percaya. Dikiranya aku mengada-ada, Yang. Kusuruh buka KBBI barulah dia percaya. Tetap saja ia bilang aku mulai menyebalkan. 

Kubayangkan bagaimana perasaanmu yang sering dituding menyebalkan bin mengesalkan.

Tak lama berselang, kami berdebat lagi. Kali ini gara-gara kata rinci, merinci, dan rincian. Kusampaikan kepadanya bahwa yang tepat adalah perinci, memerinci, dan perincian. Ia memelotot dan menyeringai. Sinis banget. Katanya, begitulah kamu yang sudah dipengaruhi Daeng. 

Tiada angin tiada hujan, kamu tertimpa salah. 

(Aku sudah tahu bahwa ketimpa itu keliru, Yang! Tenang saja. Aku juga sudah memakai terbawa, tercuci, atau terinjak. Karena kebawa, kecuci, dan keinjak itu tidak tepat.)

Remba yang suci dalam pikiran, perkataan, dan (belum tentu suci dalam) perbuatan.

Aku yakin kamu pernah mendengar atau membaca kata berpetualang. 

Aku kasih tahu, ya. Itu kata yang keliru. Hahaha. Rasanya lucu ngasih tahu kata baku kepadamu. Biarkan saja (sudah kuhindari biarin aja), Yang. Sini kukasih tahu kata bakunya. Mestinya bertualang. Nah, orang yang bertualang disebut petualang. 

Tetapi, aku ogah menjadi petualang cinta. Aku ingin hatiku tidak ke mana-mana. Aku ingin hatiku tetap di hatimu. Kalau bisa selamanya. Atau, seperti dalam puisimu: bahkan lebih lama daripada selamanya.

Rinduku sudah memerinci kamu, ya, kamu sebagai satu-satunya tempat bagi cintaku untuk bertualang sepanjang masa. Loh, memerinci kok cuma satu. Biarin! Ups, maaf. Mestinya, biarkan!

Sudah dulu, Yang. Aku capai. Salam rindu teu beak-beak*) dari yang dicecar rindu dan dicocor sendu.

Tami

(Sengaja kupakai butir-butir Dasa Dharma Pramuka karena, seingatku, kamu masih menghafalnya.

Yang, apa-apa jangan cuma dihafal. Diamalkan jauh lebih utama.) []

Catatan:

*) Bahasa Sunda: tidak habis-habis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun