Kita kembali pada kata salah yang dikaprahkan. Kamu tahu, Yang? Aku baru saja (bukan barusan dalam ragam tulisan, kan?) berdebat sengit dengan teman kerjaku. Gara-gara kata lembab dan sembab dalam laporannya.
Sudah kukatakan kepadanya bahwa yang tepat ialah lembap dan sembap. Uh, dia tidak percaya. Dikiranya aku mengada-ada, Yang. Kusuruh buka KBBI barulah dia percaya. Tetap saja ia bilang aku mulai menyebalkan.Â
Kubayangkan bagaimana perasaanmu yang sering dituding menyebalkan bin mengesalkan.
Tak lama berselang, kami berdebat lagi. Kali ini gara-gara kata rinci, merinci, dan rincian. Kusampaikan kepadanya bahwa yang tepat adalah perinci, memerinci, dan perincian. Ia memelotot dan menyeringai. Sinis banget. Katanya, begitulah kamu yang sudah dipengaruhi Daeng.Â
Tiada angin tiada hujan, kamu tertimpa salah.Â
(Aku sudah tahu bahwa ketimpa itu keliru, Yang! Tenang saja. Aku juga sudah memakai terbawa, tercuci, atau terinjak. Karena kebawa, kecuci, dan keinjak itu tidak tepat.)
Remba yang suci dalam pikiran, perkataan, dan (belum tentu suci dalam) perbuatan.
Aku yakin kamu pernah mendengar atau membaca kata berpetualang.Â
Aku kasih tahu, ya. Itu kata yang keliru. Hahaha. Rasanya lucu ngasih tahu kata baku kepadamu. Biarkan saja (sudah kuhindari biarin aja), Yang. Sini kukasih tahu kata bakunya. Mestinya bertualang. Nah, orang yang bertualang disebut petualang.Â
Tetapi, aku ogah menjadi petualang cinta. Aku ingin hatiku tidak ke mana-mana. Aku ingin hatiku tetap di hatimu. Kalau bisa selamanya. Atau, seperti dalam puisimu: bahkan lebih lama daripada selamanya.
Rinduku sudah memerinci kamu, ya, kamu sebagai satu-satunya tempat bagi cintaku untuk bertualang sepanjang masa. Loh, memerinci kok cuma satu. Biarin! Ups, maaf. Mestinya, biarkan!