(Kutulis surat ini ketika petasan mendentum-dentum dan rindu mendentam-dentam. Kuharap kamu sudi membacanya. Tidak akan menyita waktumu, apalagi menyintas perasaanmu. O ya, Lebaran sudah melambaikan tangan. Maafkan semua kesalahan dan kekeliruanku selama ini.)
Remba yang bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.Â
Sehat dan setialah selalu, sebab rindu butuh tubuh yang sehat dan cinta yang setia. Aku tidak ingin kehilangan lelaki semenyebalkan dan semenjengkelkan kamu. Lelaki yang lekas beraksi atas kata atau kalimat yang keliru, tetapi lambat dan lamban merespons perasaan rindu atau cemburu.
Eits, tetap tenang dan rileks.
Aku senang mengenalmu dan tenang mencintaimu. Semenyebalkan dan semenjengkelkan apa pun kamu, hatiku menolak berpaling darimu. Itu sekarang, entahlah nanti. Kita sadar, cinta seperti angin. Setiap saat bisa berubah arah.
(Tunggu sebentar, Yang. Mau minum dulu. Aku haus. Rindu sedang rajin mengeringkan tenggorokan.)
Remba, patriotku yang sopan dan kesatria.
Ketahuilah, Yang. Selama ini aku sering keliru menggunakan kata, sampai-sampai yang salah kukira sudah tepat. Asam berasa asing lantaran asem lebih lazim kudengar. Janggut berasa janggal karena jenggot lebih kerap kusebut. Itu sekadar menyebut contoh, ya.
Andai tidak bertemu denganmu, barangkali aku masih dan makin setia pada kesalahan berbahasa. Andai kamu tidak getol memberitahuku (dapat awalan dan akhiran jadi digabung, kan?), mungkin aku tetap abai dan tidak peduli.Â
Terus terang, Yang, semula kurasa dicintai dan mencintai kamu adalah kesalahan. Kamu terlalu datar. Dingin. Tidak seperti anak muda kekinian. Bukan Gen Y atau Z yang milenial. Ajaibnya, kamu tak layak pula masuk Gen X. Kamu lahir ketika semua gelar akademik sudah migrasi ke belakang nama.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!