Bukan kasihan pada orangnya, tetapi kasihan pada bahasa Indonesia yang kita cintai. Dipandang sebelah mata. Diremehkan. Dianggap sepele. Padahal, tetangga saya itu, selalu menggerutu kalau orang-orang asing menghina Indonesia.
Remba membayangkan Tami berdiri di depannya, keningnya berkerut, alisnya bertaut, dan mulai sewot karena pengantar yang terlalu lama dan inti kisah bahkan belum tertuturkan.
Remba mengulum senyum membayangkan lengannya dicubit jemari lentik Tami yang mencebik karena cemas. Maka, ia kembali meneruskan suratnya.
Baiklah, akan kuceritakan kepadamu muasal ketakjubanku. Begini. Pagi ini, tetanggaku itu sangat boros memakai kata. Tiga kali ia boros memakai kata. Padahal kata mestinya seperti cinta: tidak boleh diboroskan di mana-mana, cukup pada satu hati saja.
Pertama, banyak orang-orang. Ini keliru. Pemborosan. Dia bisa saja mengatakan banyak orang atau orang-orang. Kedua, para guru-guru. Para itu kata jamak, bukan tunggal atau sendirian. Guru-guru juga jamak, kata yang berarti "guru lebih dari satu orang". Cukup menggunakan para guru atau guru-guru. Ketiga, semuateman-teman. Sudah banyak, teman-teman pula. Sudah jamak, bertambah banyak. Padahal tinggal memilih salah satu. Bisa semua teman, bisa juga teman-teman.Â
Kesalahan kok dipiara. Ajaib, kan?Â
"Tidak ke kampus?"
Remba menggeleng. "Libur, Pak."
"Saya juga maunya libur," keluh Pak Roby, "tapi resiko bawahan."
"Maunya?"