Matahari tak menyala siang ini. Jalan tak seramai biasanya. Hanya sesekali mobil atau motor melintas. Sunyi menjadi sangat berasa. Ramadan dan sendirian di rumah itu menyebalkan.Â
Aku sendirian di rumah. Pekerjaan menuntut kamu harus tetap berkantor. Tidak libur. Matahari di atas atap rumah tidak menyala. Terpaksa aku sendirian mencangkung di beranda yang di atasnya matahari tidak menyala.
Matahari di langit tidak menyala, tetapi Rindu masih saja menyapa. Sekawanan awan tidak menganga dan menumpahkan hujan, tetapi Rindu masih bersikukuh menimpakan kenangan pada ingatan. Aku sendirian di beranda dengan kepala sesak karena ingatan yang menyala-nyala.
Ramadan dan sendirian di rumah memang menjengkelkan, terutama bagi perantau yang perindu seperti aku. Maka kuambil kertas dan pena. Aku bisa saja mengetik di komputer atau mencatat di ponsel, tetapi bau tinta dan derik kertas lebih menggoda.Â
Tentu kamu masih ingat kisah Imam Syafi'i ketika didatangi sahabatnya, Al-Humaidi, pada satu dinihari yang buta. Imam Syafi'i terbangun dan menyalakan lentera. Al-Humaidi, yang baru saja berangin-angin di beranda setelah salat malam, terpana melihat berlembar kertas dan beberapa pena ada di depan Imam Syafi'i.Â
Ia mendekat dan bertanya. "Ada apa, Abu Abdillah?"
Imam Syafi'i menjawab, "Saya memikirkan makna sebuah hadis. Saya juga memikirkan sebuah masalah fikih. Namun, saya takut jika itu akan sirna. Maka saya menyalakan lampu dan menuliskannya."
Memang matahari sedang tidak menyala, tetapi aku tidak perlu pelita. Aku ingin menulis. Mumpung Rindu sedang menggebu-gebu dan televisi tengah bisu. Memang bukan sebuah hadis atau masalah fikih yang menyesaki benakku, tetap saja aku tidak ingin apa yang kupikirkan sirna karena tidak ditulis.
Kalau nanti kamu sempat, bacalah. Aku akan menulis tentang tiga romantika Ramadan yang harus diwaspadai.
Pertama, susah dibangunkan saat sahur. Sejak kecil aku memang susah bangun saat sahur. Kecuali isi kandung kemihku mendesak ingin dikeluarkan. Bahkan ketika sudah terbangun pun, aku bisa terlelap lagi dalam empat-lima menit.
Sebelum bersama kamu menempuh tualang hidup dalam sebuah rumah tangga, aku tetap susah bangun saat sahur. Tak heran jika semasa bujangan aku senang tadarusan di masjid hingga saat makan sahur tiba. Kebiasaan itu kujaga hingga selama masih membujang.
Setelah bersama kamu, aku tidak pernah begadang lagi. Kamu sesabar Ibu dalam membangunkan aku buat makan sahur. Kamu juga setabah Ibu melihatku tertidur lagi setelah terbangun. Kamu tidak sewot, tidak kesal, apalagi marah. Kamu tetap sabar dan tersenyum.
Aku tidak tahu akan seperti apa malam-malam dalam Ramadan kulalui tanpa kamu. Pasti susah bangun. Padahal usiaku sudah tidak muda untuk begadang di masjid. Padahal Ibu sudah tiada untuk membangunkan aku.Â
Itu sebabnya aku tidak mau kehilangan kamu. Aku tidak ingin sendirian menunggu sahur. Tidak ada yang setabah kamu menghadapi mataku yang lemah di hadapan kantuk.
Kedua, saat berbuka puasa bersamamu. Tentu kamu tahu bahwa ada anjuran buka puasa dengan yang manis. Adakah yang lebih manis darimu? Bagi orang lain ada. Bagiku, tidak ada.Â
Dua tahun lalu, kita masih bersama menunggu beduk ditabuh. Kita masih bersama di dapur menunggu kolak dan es teh manis melayani haus kita. Kita masih bersama membahas bau mulut orang berpuasa. Kita masih bersama membayangkan bau surga dari bau mulut kita. Kita masih bersama menunggu Magrib tiba.
Tahun lalu kita masih bersama menunggu beduk ditabuh. Kita masih bersama melewati Magrib yang syahdu. Kita masih bersama seperti pengantin baru yang menahan hasrat siang. Kita masih bersama keliling Nusantara demi tugas riset dan menulis.
Tahun ini aku sendirian menunggu beduk ditabuh. Aku sendirian dilayani kolak dan es teh manis. Aku sendirian membayangkan bau surga dari bau mulutku sendiri. Aku sendirian membayangkan kamu sendirian.Â
Aku membayangkan buka puasa tanpa yang manis: kamu.
Ketiga, saat tadarus kamu tidur di pahaku. Tentu kamu ingat bahwa tadarus bersama itu menenangkan. Sehari satu juz. Setengah juz setelah salat Magrib, setengah sisanya menjelang Subuh.
Dua tahun lalu kita masih tadarus berdua. Sepuluh hari pertama kita lewati dengan lancar. Sepuluh hari kedua mulai tersendat-sendat. Sepuluh hari ketiga kita terbata-bata. Tahun lalu masih sama. Masih begitu.
Tetapi yang paling kuingat justru saat kamu tidur di pangkuanku. Kadang sampai tertidur. Padahal niatmu ingin menyimak aku mengaji.
Tahun ini tidak lagi. Kamu sibuk, aku malas kalau sendirian. Sebenarnya tidak boleh seperti itu. Apa mau dikata. Kamu sibuk, aku sendirian.
Matahari di atas beranda sudah menyala. Rindu di kepala masih menyapa. Kamu belum pulang, sementara Magrib hampir tiba.
Kandangrindu, 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H