Baru pukul sepuluh pagi ketika Remba merasa lemas. Padahal masih banyak tugas yang harus ia selesaikan. Hampit-hampir ia tergoda untuk membatalkan puasa, apalagi saat melihat warung di depan kantornya tetap buka. Namun, ia bertahan.Â
Gara-gara semalam begadang bersama teman-temannya, ia telat pulang. Sudah pukul satu dinihari ketika ia tiba di kosan. Matanya berat. Mau tidur, takut kebablasan. Minum kopi, khawatir kebanyakan. Malam ini ia sudah menghabiskan segelas kopi hitam pekat, segelas es kopi, dan terakhir secangkir kopi susu.
Remba menarik napas. Bingung apa yang mesti ia lakukan untuk melawan kantuk. Acara di televisi membosankan. Membaca buku justru mempercepat redupnya mata. Satu-satunya jalan sisa menaruh harapan pada kafein dalam kopi. Pukul dua masih nyalang, pukul setengah tiga kelopak matanya tertutup rapat.
Ia tergeragap ketika alarm dari ponsel mendering-dering di kupingnya. Pukul setengah enam. Imsak sudah jauh. Untung saat menyeduh kopi ia sempat berniat puasa.Â
Serangan Siang Bernama LemasÂ
Menjelang setengah sebelas, sendi-sendi di tubuhnya seakan-akan menolak digerakkan. Lututya goyah, pinggangnya gemetar. Ia menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya kuat-kuat, lalu menyeka keringat dingin di kening.
Inilah akibat tidak makan sahur, pikirnya. Ia benar. Makan sahur bukan sekadar mempersiapkan diri melawan serangan lapar dan haus, melainkan sekaligus memberi asupan tenaga bagi tubuh agar tidak lemas saat bekerja. Rasa lemas itu mulai berasa setelah ia rampungkan tugas mengonsep proposal. Pikirannya terkuras, tenaganya juga. Tetapi nasi sudah jadi bubur.Â
Inilah akibat semalam kurang bergerak, pikirnya. Sejak anak-anak ia sudah tahu bahwa Tarawih bukan sekadar ibadah salat sunat pada bulan Ramadan. Tubuh butuh bergerak agar makanan berbuka tidak memadati lambung dan memberati mata. Tarawih memenuhi kebutuhan itu. Nahasnya, ia malah duduk-duduk santai bersama teman-temannya.
Inilah akibat semalam tidur saat jam sahur, pikirnya. Ia tahu bahwa seandainya sempat sahur pun ia tidak boleh tidur. Langsung tidur setelah sahur bisa memicu asam lambung. Selain itu, tidur lelap setelah sahur dapat mengancam kebiasaan tepat waktu tiba di kantor. Semasa masih menganggur saja ia tidak langsung tidur setelah sahur. Biasanya ia tabah menunggu Subuh tiba. Sepulang salat berjamaah barulah ia puas-puaskan diri mendengkur.Â
Untung konsep proposal sudah kelar. Tinggal dibaca-baca ulang seraya menyunting sana-sini.
Musuh Biologis Bernama KantukÂ
Sudah hampir zuhur ketika perbaikan proposal tuntas. Kalau tidak, pekerjaannya akan amburadul. Adalah manusiawi jika kantuk sangat tangguh pada saat hari separuh jalan. Jangankan saat Ramadan, di luar bulan Ramadan saja siang-siang sering mengantuk.Â
Inilah akibat pola tidur tidak teratur, pikirnya. Andai kata semalam ia ikut salat Tarawih, keringat akan mengucur dan letih mengundang kantuk. Ia juga tidak akan melewatkan waktu sahur. Bujangan dan sendirian di kosan adalah akumulasi petaka jika kurang berhati-hati. Jomlo juga memastikan tiada gadis idaman yang membangunkannya lewat dering telepon.Â
Inilah akibat semalam terlalu banyak minum, pikirnya. Lazimnya orang lain yang berpuasa, Remba menyangka banyak minum air akan membuatnya tahan haus. Ia lupa bahwa minum air sekaligus banyak dapat memicu diuretik. Alhasil, sejak pagi ia sudah berkali-kali bolak-balik ke kakus. Pipis melulu. Selain cairan tubuh berkurang, tenaga juga terkuras. Mestinya ia tata pola minum. Saat buka segelas, setelah salat Magrib segelas, sebelum makan segelas, setelah makan segelas, sebelum Tarawih segelas, sepulang Tarawih segelas, sebelum sahur segelas, dan setelah sahur segelas. Cukuplah delapan gelas.
Tetapi nasi sudah jadi bubur. Memang bubur masih bisa di makan, namun makan bubur sekarang sama saja membatalkan puasa.
Ancaman Bernama Perut PerihÂ
Remba bersyukur karena ia sukses melawan kantuk. Matanya masih awas hingga Asar tiba. Namun, tak dinyana ancaman lain mengintai. Perutnya perih. Melilit-lilit. Lambungnya seperti ditusuk-tusuk peniti. Ulu hatinya seakan tertinju raksasa.
Inilah akibat semalam terlalu banyak makan, pikirnya. Seandainya ia makan sahur pun mestinya ia hindari terlalu banyak makan. Beban perut jadi berlebih dan, akibatnya, memacu perut kembung. Terjadi pula gangguan pencernaan. Mestinya ia makan secukupnya saja. Yang utama, kebutuhan nutrisi terpenuhi. Ini tidak. Ia seperti orang ketakutan yang bakal menghadapi ancaman kelaparan berhari-hari.
Inilah akibat semalam terlalu banyak makan cokelat, pikirnya. Tiga keik yang semuanya mengandung cokelat tandas saat ia berbuka. Lazimnya orang lain yang berpuasa, ia percaya bahwa berbukalah dengan yang manis-manis. Apalagi ia penggemar cokelat. Apa saja bentuk dan olahannya, asalkan ada cokelatnya, dijamin akan dilahap olehnya. Ia lupa bahwa kandungan karbohidrat dalam cokelat lumayan tinggi. Akibatnya, perutnya terus bernyanyi.
Tetapi nasi sudah jadi bubur. Sebenarnya tidak apa-apa. Bubur sumsum, misalnya, termasuk kudapan favoritnya. Asal tidak diganyang sekarang, sebab beduk Magrib sudah hampir tiba.
Akhirnya ia berniat memperbaiki diri. Besok-besok ia tidak mau menjadi keledai: jatuh dua kali di lubang yang sama. Ia harus tetap bekerja dan tidak ingin puasanya bolong-bolong. Maka, ia mesti menjaga diri. Sebagai seniman, ia harus punya rasa seni yang tinggi untuk merawat kebugaran selama berpuasa.
Setidaknya ia bisa meneladani kegigihan Mohamed Salah Ghaly, penyerang Liverpool asal Mesir, yang tetap berpuasa meskipun sibuk mempersiapkan diri demi laga final Liga Champions Eropa.
Seperti Salah, tekadnya dalam hati, aku tidak boleh kalah atau salah. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H