Baru saja orang-orang meninggalkan masjid. Hujan yang sejak awal Tarawih mengguyur perumahan sudah reda. Air menggenang di aspal yang tak rata. Aku berjalan pelan menikmati elusan angin. Masa Kecil bersenandung di sisi kiri. Ia senang sekali bersenandung persis seperti almarhum Ibu.
Kami tiba di beranda rumah yang bohlamnya sejak kemarin minta diganti. Gelap dan dingin. Aku suka malam di bulan Ramadan yang gelap dan dingin. Masa Kecil juga suka. Kubayangkan kampung halaman yang gelap setelah Tarawih dengan kepala rebah di paha Ibu.
Kala itu Masa Kecil masih kelas tiga SD, tetapi sudah harus berdiri di depan jamaah sebagai protokol. Tentu saja lututku gemetar, bahkan sendi-sendiku berasa ngilu. Masjid di kampungku memang begitu. Anak-anak dan remaja tidak sekadar dilatih berpuasa, tetapi sekaligus dilatih berdiri di depan khalayak. Ada yang tilawah, ada yang menata acara, dan ada yang berceramah.
Yang paling muda menjadi penata acara, yang sedikit lebih tua mengaji, dan yang sudah di sekolah menengah jadi penceramah. Aku yang paling muda. Tugasku ringan sebetulnya. Cuma membaca susunan acara, mempersilakan pengisi acara ke mimbar, mengumumkan jumlah sumbangan, menyebutkan siapa yang besok menyiapkan makanan buka puasa, dan mengumumkan siapa yang bertugas untuk Tarawih besok.
Tetapi ternyata tidak seringan yang kubayangkan. Aku sudah gugup sebelum mengucapkan salam. Kandung kemih terasa penuh. Degup jantung tidak beraturan. Keringat merayap di pori-pori ketiak, kening, dan dada. Dan, yang paling menjengkelkan, jemariku bergeletar sehingga tulisan di kertas ikut bergerak-gerak.
Masa Kecil tertawa sambil menjelepak di lantai. "Memalukan!"
"Apa yang memalukan?" desakku.
"Pengalaman pertama berdiri di masjid selaku protokol."
Mataku memejam. Kenangan seperti film pendek yang ditayangkan ingatanku dengan lambat. Kulihat diriku yang mungil, pendek, dan ceking mengecil di hadapan orang-orang dewasa. Tidak seorang pun tertawa, namun mata mereka seakan-akan meledekku. Jarum jam serasa bergerak sangat lambat. Rasanya malam itu adalah malam terpanjang dalam hidupku.
"Tarawih tidak khusyuk," kata Masa Kecil seraya mengerling kepadaku.
Aku tertawa. Setelah dewasa, kadang aku suka menertawai peristiwa saat anak-anak yang menggelikan dan mencemaskan. Malam itu salatku memang tidak khusyuk. Rasanya ingin cepat-cepat tiba di rumah dan melabuhkan rasa malu di pangkuan Ibu. Pada malam itu aku keliru menyebut Nabi Muhammad subhananu wa ta'ala dan menukarnya dengan Allah sallallahu 'alaihi wasallam.
Memang tidak ada yang tertawa. Namun, teguran Om Syarif seperti gemuruh guntur di telingaku. Alih-alih memperbaiki kekeliruan, rasa gugupku menjadi-jadi. Maka mengalirlah kalimat berdasarkan firman Nabi Muhammad. Memang tidak ada yang tertawa, tetapi aku malu sendiri. Malam itu sempat kuharap lantai masjid terbelah dan tubuhku jatuh ke dalam rekahannya.Â
Setiba di rumah, Ayah mengelus rambutku. "Kamu hebat, Nak."
Aku semakin malu. Salah kok dipuji hebat. Ibu memelukku. Pelan-pelan kusembunyikan air mataku di mukenanya.Â
"Anak lain pasti sudah lari turun," kata Ibu menenangkan gelusahku, "kamu tetap bertahan hingga tugasmu selesai."
Ayah kembali mengelus rambutku. "Jangan takut salah. Kita kuat karena belajar dari kesalahan."
Mataku kembali memejam.Â
Aku ingat, malam itu pelukan hangat Ibu dan elusan lembut Ayah menguatkan hatiku. Tidurku nyenyak setelahnya. Aku bahkan tidak ikut main cokko-cokkoeng--petak umpet--di pohon waru di depan rumah Om Mado. Aku memilih masuk ke masjid dan tidur hingga waktu sahur tiba.
Beranda masih gelap dan Masa Kecil tetap betah menemani.
Ia tersenyum. "Andaikan bukan karena Masjid Nurul Muhammad, masjid berlantai tanah di kampung, kamu tidak akan seperti sekarang."
Aku mengangguk setuju. Hampir semua anak-anak di kampungku kelak menjadi orang hebat. Armin, putra sulung Om Syarif, jadi perintis pembentukan TK/TPA di Kabupaten Jeneponto. Om Mansyur, anak ketiga Kakek Silang, kini sudah doktor. Suhardi, sepupu yang jago debat, sekarang sudah jadi dai. Bakaring, kakak sulungku, satu-satunya lulusan Secatam (Sekolah Calon Tamtama) yang bisa pensiun di pangkat Mayor dan tetap mahir berdakwah. Mereka bermula dari masjid sederhana di kampung.Â
Masjid di kampungku semula di belakang rumah Om Syarif, lalu dipindahkan ke samping rumahku agar tepat berada di sisi jalan. Menghadap ke selatan. Tanpa menara megah, tanpa kran air wudu. Lantaran air kurang, biasanya kami bergotong royong mengisi kolam dengan cara memikul air dari sumur sejauh satu kilo.Â
Kebersamaan mengambil air itu sangat menyenangkan. Kami menyebutnya jalan ibadah. Suhardi,yang sekarang dai muda tenar di Makassar itu, dulu pasangan saya memikul air. Kami bergantian karena masih kecil. Yang lebih besar tidak bergantian. Namun, biasanya berhenti mengaso tatkala sudah separuh jalan.Â
Di antara anak seumuranku, Suhardi dan Jamil--putra bungsu Om Syarif--yang paling berani tampil kalau Ramadan. Aku dan Nurjihadi, sepupuku, yang paling pemalu. Tidak heran jika aku dan Nurjihadi memilih masuk SMP. Sementara yang lain masuk Madrasah Tsanawiyah atau pesantren.Â
Masjid kami sederhana. Untuk mengganti atap daun lontar menjadi seng saja butuh bertahun-tahun. Rata-rata warga kampung miskin. Baru tiga orang yang punya motor. Om Syarif dan Om Tari yang keduanya guru SD, serta Om Sewang yang bekerja sebagai Juru Penerang di Departemen Penerangan. Kakakku, Saleh, punya sepeda. Itu pun bantuan orangtua angkat yang berkebangsaan Kanada. Beberapa orang di kampungku punya keluarga angkat dari Eropa dan Amerika. Mereka dapat surat, wesel untuk biaya sekolah, dan sepeda.
Mataku berkaca-kaca ketika Masa Kecil mendesah. "Tetapi Ayah dan Ibu benar."
"Benar bagaimana?"
"Kamu belajar dari kesalahan dan bernyali karena kesalahan itu."
Barangkali orangtua memang harus begitu. Harus selalu mampu mengungkit semangat ketika anaknya sedang merasa terpuruk.Â
Setelah malam pertama yang memalukan itu, kubuang rasa takut. Kalau Suhardi berhalangan saat gilirannya protokol, aku yang gantikan. Saat Nurjihadi sengaja menginap di rumah kakeknya, aku yang gantikan. Pendek kata, aku adalah ban serep yang selalu siap menjaga podium.Â
Puncaknya ketika Tim Safari Ramadan dari kabupaten batal datang. Jalanan yang berlumpur setinggi mata kaki membuat mobil tim tidak bisa masuk ke Borongtammatea, kampungku.Â
Suhardi protokol, Syuaib--adik Om Mansyur--tilawah, dan aku yang ceramah. Malam itu Tarawih berasa syahdu sekali. Aku ke mimbar tanpa persiapan apa-apa. Kupakai taktik Harmoko, tiba masa tiba akal. Hasilnya sukses luar biasa.Â
Dari masjid sederhana itulah nyaliku diasah. Dari kebiasaan ban serep itulah aku makin rajin membaca. Dari kegilaan membaca itu pula aku mulai belajar menyusun konsep ceramah.
Setahun setelahnya, aku sudah memenangi Lomba Pidato Tingkat SD se-Kecamatan Tamalatea. Dominasi SD Tanetea, SD di kota kecamatan, mulai goyah. Pada saat kelas lima, kami--aku, Suhardi, Jamil, Nurjihadi, dan Syuaib--menang Lomba Drama 17-an di Tanetea.
Semua bermula dari Masjid Nurul Muhammad Borongtammatea. Masjid sederhana. Masjid tanpa menara.Â
Malam ini di beranda di kota yang jauh dari tanah kelahiran, Masa Kecil mengantarku masa lalu. Aku selalu rindu pada masjid itu. Hingga malam ini. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H