Kebersamaan mengambil air itu sangat menyenangkan. Kami menyebutnya jalan ibadah. Suhardi,yang sekarang dai muda tenar di Makassar itu, dulu pasangan saya memikul air. Kami bergantian karena masih kecil. Yang lebih besar tidak bergantian. Namun, biasanya berhenti mengaso tatkala sudah separuh jalan.Â
Di antara anak seumuranku, Suhardi dan Jamil--putra bungsu Om Syarif--yang paling berani tampil kalau Ramadan. Aku dan Nurjihadi, sepupuku, yang paling pemalu. Tidak heran jika aku dan Nurjihadi memilih masuk SMP. Sementara yang lain masuk Madrasah Tsanawiyah atau pesantren.Â
Masjid kami sederhana. Untuk mengganti atap daun lontar menjadi seng saja butuh bertahun-tahun. Rata-rata warga kampung miskin. Baru tiga orang yang punya motor. Om Syarif dan Om Tari yang keduanya guru SD, serta Om Sewang yang bekerja sebagai Juru Penerang di Departemen Penerangan. Kakakku, Saleh, punya sepeda. Itu pun bantuan orangtua angkat yang berkebangsaan Kanada. Beberapa orang di kampungku punya keluarga angkat dari Eropa dan Amerika. Mereka dapat surat, wesel untuk biaya sekolah, dan sepeda.
Mataku berkaca-kaca ketika Masa Kecil mendesah. "Tetapi Ayah dan Ibu benar."
"Benar bagaimana?"
"Kamu belajar dari kesalahan dan bernyali karena kesalahan itu."
Barangkali orangtua memang harus begitu. Harus selalu mampu mengungkit semangat ketika anaknya sedang merasa terpuruk.Â
Setelah malam pertama yang memalukan itu, kubuang rasa takut. Kalau Suhardi berhalangan saat gilirannya protokol, aku yang gantikan. Saat Nurjihadi sengaja menginap di rumah kakeknya, aku yang gantikan. Pendek kata, aku adalah ban serep yang selalu siap menjaga podium.Â
Puncaknya ketika Tim Safari Ramadan dari kabupaten batal datang. Jalanan yang berlumpur setinggi mata kaki membuat mobil tim tidak bisa masuk ke Borongtammatea, kampungku.Â
Suhardi protokol, Syuaib--adik Om Mansyur--tilawah, dan aku yang ceramah. Malam itu Tarawih berasa syahdu sekali. Aku ke mimbar tanpa persiapan apa-apa. Kupakai taktik Harmoko, tiba masa tiba akal. Hasilnya sukses luar biasa.Â
Dari masjid sederhana itulah nyaliku diasah. Dari kebiasaan ban serep itulah aku makin rajin membaca. Dari kegilaan membaca itu pula aku mulai belajar menyusun konsep ceramah.