Saya pikir tidak begitu. Kemenag punya banyak urusan. Biro perjalanan ibadah, urusan haji, pendidikan cinta kasih agar warga menjauhi radikalisne, dan lain-lain. Itu baru yang bersentuhan dengan urusan agama Islam. Belum lagi urusan agama Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu.Â
Jika satu agama diurusi sampai pada hal sedemikian, nanti juga mesti ada rekomendasi penceramah selain agama Islam. Kalau tidak, negara tengah pilih kasih. Yang terkena tindak pilih kasih itu kadang-kadang sulit pulih cinta. Bingung, kan?Â
Urusan rekomendasi ini mestinya diserahkan pada MUI saja. Tiap daerah bisa memilah dan memilih sendiri. Tiap daerah hafal reputasi penceramahnya, tahu kompetensi keilmuannya, dan paham akan ketinggian komitmen kebangsaannya. Kalau terjadi riak, biar mereka selesaikan sendiri.Â
Perkara Pemutakhiran Rekomendasi
Inilah bagian akhir kecemasan dan kebingungan saya. Pada pernyataan sewaktu rekomendasi disampaikan kepada khalayak, Menteri Agama menandaskan celah perbaikan. Bahasa lembutnya dapat dimutakhirkan. Bahkan banyak portal berita daring mencantumkan nomor kontak terkait niatan pemutakhiran tersebut.Â
Sebagai rakyat awam yang tidak kenal ceruk-meruk birokrasi, saya menganggap rekomendasi tersebut lahir dari tindakan tergesa-gesa. Gol dalam sepak bola saja sukar disahkan apabila wasit sudah menganulirnya. Bukan perkara lentur dan alot, melainkan efektivitas pekerjaan.Â
Saya bayangkan kiper yang menjaga nomor kontak pemutakhiran itu akan amat sangat repot. Untung kalau ia cuma memegang satu nomor. Kalau banyak bakal makin repot. Bisa-bisa salah nomor. Persis seperti penjaga gawang akun twitter kepresidenan yang lupa pindah akun.
Saya juga membayangkan nomor kontak pemutakhiran itu diserbu umat. Kemudian bertambahlah jumlahnya menjadi 212. Bertambah lagi menjadi 411, lalu 505.Â
Aduh, saya makin bingung. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H