Pertama, mempunyai kompetensi keilmuan agama yang mumpuni. Apakah yang tidak direkomendasi berarti tidak mumpuni ilmu agamanya? Baik jawabannya ya maupun tidak, negara--lewat Kementerian Agama--tanpa sadar mencurigai, menengarai, malahan mencederai warganya. Betapa tidak, hanya 200 mubalig yang diakui negara berkompeten. Sesedikit itu?
Kedua, memiliki reputasi yang baik. Di sini saya berasa bingung yang mendekati limbung. Setelah hanya mengakui 200 ustaz yang berilmu, selanjutnya negara cuma mengakui 200 dai yang reputasinya baik. Bagaimana dengan yang di luar 200 itu? Apakah level mereka agak baik, sedikit baik, atau agak sedikit baik?
Kalau mau sedikit melipir, kita bisa melihat rekomendasi Ini seperti bola yang ditetapkan FIFA untuk digunakan dalam Piala Dunia 2018. Bahannya diuji, beratnya ditakar, daya lentingnya dicoba, kemudian pengujian, penakaran, dan pencobaan itu ditilik-timbang lagi. Jadi tidak asal-asalan. Kiper mengeluhkan daya tahan bola pada ancaman angin, bola kembali diuji.Â
Itu ilustrasi saja, bukan pembandingan.Â
Maksud saya begini. Harus jelas mengapa dai yang terpilih dianggap bereputasi baik, berapa lama rentang waktu penilikan, dan (yang tidak kalah krusial) reputasi seperti apa yang dianggap atau diyakini baik. Apakah yang tidak diikutkan dalam Kelompok 200 itu sudah dipastikan reputasinya buruk? Baik jawabannya ya maupun tidak, negara telah menabuh prasangka buruk.
Ketiga, memiliki komitmen kebangsaan yang tinggi. Hatta saya makin bingung. Semacam memikirkan teka-teki yang punya seribu kemungkinan jawaban. Dijawab "a", pelontar teka-teki berkilah. Dijawab "b" juga percuma.Â
Dari kriteria ini muncul klasifikasi komitmen kebangsaan yang rendah, komitmen kebangsaan yang sedang, serta komitmen kebangsaan yang tinggi. Lalu hadirlah rupa-rupa curiga. Ustaz itu tidak direkomendasi karena komitmen kebangsaannya rendah. Dai ini tidak direkomendasi karena komitmen kebangsaannya sedang.Â
Sungguh teror pikiran yang mencemaskan. Dai yang tidak masuk Kelompok 200 saya pikir tidak akan berpikir aneh-aneh. Mereka pasti woles-woles saja. Bagaimana dengan umat? Bayangkan di kedai kopi kalangan bawah yang kasak-kusuk, komat-kamit, hingga gasak-gesek.Â
Sungguh membingungkan. Sungguh mencemaskan.
Perkara Selain Rekomendasi
Apakah Kementerian Agama kurang kerjaan sampai-sampai mengurusi rekomendasi mubalig?Â