Beberapa tahun kemudian, putra Sesepuh Rubah sudah menjelang remaja. Sejak kecil ia tidak mudah percaya. Segala hal harus ia uji baru ia percaya. Termasuk soal anggur. Andaikan bukan karena takut mencoreng arang di jidat bapaknya, sudah lama ia menyeberang ke Provinsi Kera dan menguji kadar kemasaman anggur.
Hatta suatu pagi Putra Sesepuh Rubah sudah tidak sanggup menahan diri. Diam-diam iaajak teman sepermainannya menyelinap di perbatasan, merunduk di tengah hutan, menyelundup di semak-semak, hingga tiba di perkebunan anggur. Untung bagi mereka, penjaga kebun sedang berangin-angin di pucuk beringin.
Mereka berkumpul di bawah pohon anggur yang rimbun. Angin seolah tahu hajat Putra Sesepuh Rubah. Beberapa butir anggur busuk tanggal dan jatuh. Putra Sesepuh Rubah segera memunguti buah idaman itu. Pelan-pelan ia mengemut sebutir anggur, merasakan lembut kulit buah di lidah, serta menikmati rasa penasaran memancar dari mata teman-temannya. Hingga ia muntahkan anggur dari mulutnya.
"Kenapa?"
"Masam?"
"Kecut?"
Putra Sesepuh Rubah menggeleng. "Lebih buruk daripada masam!"Â
Ia serahkan sisa anggur kepada teman-temannya. Sekawanan Rubah serempak mencicipi anggur busuk, kemudian serentak memuntahkannya.
"Pahit!"
"Ya, pahit sekali!"
"Benar kata Sesepuh, anggur bukan buah layak santap!"