Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi | Mencintai Hujan

8 Mei 2018   09:30 Diperbarui: 8 Mei 2018   18:07 3167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: pixabay.com

(Kutulis puisi di beranda kala matahari
menyapih senja dari mata hampaku
dipaku harapan kedatangan di jalan
padat mobil,  motor, dan sesak ingatan
pada kepergianmu yang kesekian.

Tapi matahari tak menampakkan kamu
dan bayangan tubuhmu yang panjang
dalam kemacetan jalan dan kecemasan
mataku seharian menahan gairah
puisi yang dibunyikan senyap)

/1/

Barangkali kau ingin dengar beruntun
guruh dan rantai kilat di langit abu-abu
lalu berlari ke beranda mencari-cari
peluk sepasang lenganku yang hangat
dan ketakutanmu serta-merta surut.

Pelan-pelan kamu pandangi halaman
yang dilengangkan baris-baris gerimis
dan kubisikkan sesuatu ke telingamu,
"Hati kita harus selalu berani melawan
Kesedihan yang diguyurkan Hujan."

Kamu tak berkata apa-apa bagai bocah  
menatap mata ibunya dan menyimak
kisah ketabahan paling meneduhkan,
"Kenapa kita luput mempelajari tabah
pada Hujan yang jatuh berkali-kali?"

/2/

Hujan tak pernah mengeluhkan nasib
yang cuma punya satu jalan ke bumi
atau menyalahkan Tuhan dan takdir
ketika sepanjang tahun tidak turun
bumi dikepung kemarau panjang.

Seharian Hujan jatuh di pekarangan
padahal mungkin ia ingin mencoba
seperti apa rasanya naik ke langit
menemui Tuhan dan meminta jalan
berbeda yang bukan jalan biasanya.

Kita harus selalu melawan Kesedihan
dan mengusirnya dari dasar sanubari
agar sepanjang hidup tidak terjajah,
kita mesti belajar setabah Hujan
mencintai bumi walau selalu jatuh.

/3/

Hujan tidak pernah marah kepada kita
yang terkadang mahir menggerutu
terusik kedatangan Hujan seakan lupa  
kebaikan basah bagi tanah dan pohon  
serta kegembiraan bunga dan buah.

Hanya sesekali ia muram dan marah
dipenuhinya got, selokan, dan sungai,
menaiki jalan dan memasuki rumah
bersama sampah, tinja, dan gelisah
orang-orang kehilangan kesabaran.

Mestinya kita belajar sesabar Hujan
menahan dan melawan Kesedihan
biar jiwa kita selamat dan sentosa
dan merdeka dari kuasa nestapa
sampai air mata mengenali bahagia.

Sesekali kita marah pada Kesedihan
benamkan dirinya ke dalam tulisan
biar ia melolong-meraung seharian
kalau perlu bersujud minta ampun
kita terkekeh-kekeh karenanya.

/4/

Dalam hidup sementara ini kita sering
melihat Hujan dan tak belajar apa-apa,
padahal ada dua kekayaan dalam Hujan,
ketabahan dan kesabaran, yang dengan
keduanya akan kita kalahkan Kesedihan.

Semasa kecil kita senang bermain-main
dengan Hujan sampai kita lupa waktu,
Biarkan benakmu senyap dan dengarkan
kata Hujan, "Ketabahan awal ketenangan
dan kesabaran melahirkan kesenangan."

(Hingga puisi selesai menyembunyikan
air mata Kesedihan dan tuntas mencuci
muka kamu masih disembunyikan awan
bising jalan bagai lagu tanpa harmoni
memasuki dan menyakiti kuping kata.

Mata puisi berkaca-kaca dan kusangka
Kesedihan di dadamu telah lari ke sana,
mungkin puisi lebih ramah dan tabah
daripada matamu yang menyumpahi
Kesedihan bak orang mengutuk setan)

Kandangrindu, 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun