(Kutulis puisi di beranda kala matahari
menyapih senja dari mata hampaku
dipaku harapan kedatangan di jalan
padat mobil, Â motor, dan sesak ingatan
pada kepergianmu yang kesekian.
Tapi matahari tak menampakkan kamu
dan bayangan tubuhmu yang panjang
dalam kemacetan jalan dan kecemasan
mataku seharian menahan gairah
puisi yang dibunyikan senyap)
/1/
Barangkali kau ingin dengar beruntun
guruh dan rantai kilat di langit abu-abu
lalu berlari ke beranda mencari-cari
peluk sepasang lenganku yang hangat
dan ketakutanmu serta-merta surut.
Pelan-pelan kamu pandangi halaman
yang dilengangkan baris-baris gerimis
dan kubisikkan sesuatu ke telingamu,
"Hati kita harus selalu berani melawan
Kesedihan yang diguyurkan Hujan."
Kamu tak berkata apa-apa bagai bocah Â
menatap mata ibunya dan menyimak
kisah ketabahan paling meneduhkan,
"Kenapa kita luput mempelajari tabah
pada Hujan yang jatuh berkali-kali?"
/2/
Hujan tak pernah mengeluhkan nasib
yang cuma punya satu jalan ke bumi
atau menyalahkan Tuhan dan takdir
ketika sepanjang tahun tidak turun
bumi dikepung kemarau panjang.
Seharian Hujan jatuh di pekarangan
padahal mungkin ia ingin mencoba
seperti apa rasanya naik ke langit
menemui Tuhan dan meminta jalan
berbeda yang bukan jalan biasanya.
Kita harus selalu melawan Kesedihan
dan mengusirnya dari dasar sanubari
agar sepanjang hidup tidak terjajah,
kita mesti belajar setabah Hujan
mencintai bumi walau selalu jatuh.
/3/