Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

"El Clasico" dan Cinta Tanpa Jarak

7 Mei 2018   12:07 Diperbarui: 26 Mei 2019   14:13 2258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Kompas.com (AFP/PAU Barrena)

Sudah 94 menit, tetapi mata saya masih setia menatap layar kaca. Bukan apa-apa, satu detik terkadang sangat berharga. Apalagi detik-detik terakhir. 

Sebenarnya bukan semata-mata dalam sepak bola, dalam hidup pun demikian. Sedetik saja telat menahan lidah, kata-kata keras dan kasar bisa terlontar. Dan, bisa kata-kata selalu berbahaya. Sengat kalajengking tidak ada apa-apanya.

Ternyata detik-detik sisa sungguh menegangkan. Barcelona, yang kehilangan satu pemain sejak babak pertama, harus habis-habisan menahan gempuran Real Madrid. Adapun Madrid, yang keok di kandang pada pertemuan pertama, mesti mati-matian supaya kekalahan terbayar. 

Maka terbuktilah petuah Kafka, setiap detik hidup adalah final. Tak boleh lengah, tak boleh lelah.

Belajar Menahan Diri 

Akhirnya drama kelar. Hasilnya imbang. Dua gol Blaugrana dijebloskan ke gawang Navas oleh Suarez dan Messi, sedangkan dua gol Los Galacticos diceploskan ke gawang Ter Stegen oleh Ronaldo dan Bale. 

Akhir yang baik bagi kedua kesebelasan. Bagi Ramos dkk. adalah modal penguat mental jelang perang melawan Liverpool, bagi Iniesta dkk. adalah tabungan menuju akhir liga tanpa kekalahan.

Aroma permusuhan yang kental dan sengit sepanjang laga diakhiri senyuman, salaman, dan pelukan. Kemarahan dipungkasi keramahan. 

Cinta juga mestinya begitu. Sesengit apa pun pertengkaran, harusnya tidak ditutup dengan air mata perpisahan dan letup bara dendam. Bukankah senyuman, salaman, dan pelukan lebih menenteramkan daripada cacian, makian, dan sesalan? 

Belajar Menjadi Tangguh 

Saya teringat gairah memberikan yang-terbaik-bagi-yang-dicinta pada sepanjang laga. Ramos berjibaku, Pique bersikukuh. Modric berjuang tak kenal letih, Rakitic bertarung tak kenal pedih. 

Cinta juga mestinya begitu. Kedua pihak harus sama-sama berjuang. Tujuan penyatuan akan jauh dari jangkauan bilamana cuma pihak lelaki yang bergerak. Sebaliknya juga demikian. 

Tak heran jika Camus belajar banyak pada sepak bola. Dalam hal keutamaan dan tanggung jawab akan tugas, saya belajar dan berutang banyak pada sepak bola. Novelis merangkap filsuf itu tidak melihat sepak bola sebagai sepak-menyepak, tendang-menendang, atau kejar-mengejar semata. 

Sungguh banyak yang dapat dipelajari oleh para pencinta: baik perindu maupun pencemburu.

Belajar Merawat Tabah 

Lihatlah bagaimana Asensio yang gigih meski sebatas pemain pengganti. Seperti ban serep yang amat dibutuhkan dalam situasi pelik. Hal sama tampak pada Semedo. Mungkin ada di antara kita yang akan, sedang, atau sudah menggantikan posisi orang lain di hati yang dicinta. Tak apa. Jangan berkecil hati. Justru yang menggantikan terkadang tak tergantikan.

Lihat pula betapa kecewa Messi melepas satu peluang bagus. Ia tidak patah arang, ia terus menerjang. Hal sama dilakukan oleh Bale. Sempat kehadirannya antara ada dan tiada pada babak pertama, tetapi golnya menyelamatkan Madrid dari kekalahan. 

Dalam cinta juga begitu. Tidak perlu panik saat harapan jauh dari kenyataan. Tetap tegak, tetap bergerak.

Belum lagi Marcelo yang jatuh setelah dijegal Alba di kotak dua belas pas ternyata tidak berbuah penalti. Ia sudah berusaha, wasit jualah penentunya. 

Dalam cinta juga begitu. Kadang kita merasa sudah melakukan segala-galanya, namun hasilnya jauh dari yang kita bayangkan. Kita telah berusaha, Tuhan jualah Sang Penentu Segala.

Belajar Menata Perasaan 

Ketika pemain kedua kesebelasan sudah memasuki lorong ke ruang ganti, saya masih terpaku di hadapan layar kaca. Kemarahan dan kegembiraan, kekecewaan dan keceriaan. Sungguh pertunjukan perasaan yang luar biasa. Persis seperti perjalanan perasaan sepasang kekasih.

Maka layaklah akhir seri buat keduanya, sebab sepak bola bukan sekadar kalah atau menang. Sebagaimana pertengkaran dalam pelayaran cinta: bukan sekadar salah atau benar. 

Bukankah warna tidak hanya hitam dan putih?

Selaku penikmat sepak bola, yang jelas-jelas menyukai Barcelona, saya memandang el-clasico sebagai cermin bagi cinta. Saya ikuti petuah Camus: belajar dan berutang pada sepak bola. 

Kandangrindu, 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun