Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Katahati dan Harapan yang Memancur di Matanya

27 Maret 2018   11:34 Diperbarui: 28 Maret 2018   18:50 1509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membuka Kelas Menulis Kata Hati

Aku masih menyeruput Si Eko--penamaan es kopi yang unik dan kreatif--ketika kepalaku melayang ke mana-mana. Maaf, tampaknya aku mendadak terlalu lebay. Baru paragraf pertama sudah berlebihan. Moga-moga kamu maklum. Maksudku, ingatanku melayang ke mana-mana. Ingatan yang bertualang liar tak tentu arah itulah yang merangsangku untuk bercerita. Ya, tiba-tiba aku ingin sekali bercerita kepadamu.

Begini. Cerita yang ingin kukisahkan ini bukanlah rahasia besar. Bukan sejenis gosip murahan yang kerap membusakan bibir ibu-ibu saat merubungi tukang sayur. Bukan pula sebentuk kegalauan hati yang sering menghiasi dinding Facebook atau kolom komentar Instagram remaja baru gede. Ini cerita biasa saja. Tak mengerutkan kening, tak menguras pikiran. Jadi santai saja.

Sekali lagi, aku hanya ingin bercerita. Mumpung Si Eko masih separuh gelas dan bilangan Cikini belum terlalu bising. Sedikit bocoran, kisah ini kutata dan kutumpu dari rasa cinta. Ah, kuharap kamu belum bosan mendengar cerita-ceritaku yang rata-rata dilatari cinta. Meskipun kali ini tanpa luka. Tanpa duka.

1

Aku suka matanya. Tepatnya, aku suka matanya yang selalu bercahaya. Kutemukan deru harapan berkilat di sana. Harapan yang menggelotar penuh semangat. Barangkali kamu juga pernah bertemu seseorang yang matanya mengilatkan harapan, yang membuatmu berasa hidup menyajikan kebahagiaan sempurna, yang menjadikanmu merasa beruntung karena melihatnya. Begitulah yang kurasakan setiap melihat matanya. Tak heran jikalau aku, akhirnya, jatuh cinta pada matanya.

Namun ada satu masa matanya redup. Sendu merupa air yang menggelinang di pelupuk matanya. Aku tersentak. Serasa ada yang hilang. Serasa ada yang berderak dan retak di dadaku. Ketika matanya redup, jantungku mencelus ke tanah becek sisa hujan sepanjang siang. Tetapi, sudahlah. Aku tak akan menceritakan duka yang menggenang di matanya. Tidak. Aku akan bercerita yang baik-baik saja. Kesedihan dan kedukaan sudah marak di status WA atau dinding Facebook. Bahkan nyaris mengelimuni media sosial.

O ya, sekali waktu aku membandingkan matanya dengan mata Habibie. Bahkan mata Einstein. Mata yang memancarkan ketegasan dan kecerdasan, juga ketangguhan dan kesungguhan. Mungkin aku berlebihan karena membandingkan matanya dengan mata Habibie dan Einstein. Tak apalah. Ini perkara rasa. Dan, itulah yang kurasakan.

Meski begitu, matanya bukan melulu kilat harapan. Kadang matanya menjelma sumur perih yang amat dalam. Saking dalamnya sampai-sampai aku tak mampu menaksir kedalamannya, walaupun aku setengah mati melongok di tepi sumur perihnya. Ia sendiri menamai matanya dengan cukup puitik. Perempuan berdarah Sunda bermata sendu. Coba kamu lihat pilihan katanya: Sundadan sendu. Dalam dan misterius. Penuh rahasia.

Maafkan aku karena kembali menyingkap luka di matanya. Baiklah, aku berjanji akan berhenti mengulas matanya. Cukuplah aku yang merasakan saat-saat ketika matanya membunyikan geletar suka dan menyembunyikan gelegar duka. Sekarang aku ingin mengajakmu balik arah, kembali pada kecerdasannya memilih kata. Sekadar kamu tahu, kecerdasannyalah salah satu alasan mengapa kubiarkan hatiku jatuh cinta berkali-kali kepadanya.

Sudah berkali-kali kupuji kemampuannya menulis puisi. Ia tampak biasa-biasa saja. Seolah pujianku sekadar setetes embun di ujung daun talas. Ia bahkan tidak tergoda untuk menyerahkannya kepadaku untuk kubaca. Apalagi tergoda untuk mengabadikan puisi-puisinya lewat kumpulan sajak. Padahal aku pernah melihat matanya menyatakan hal berbeda. Serupa mulut menyangkal tetapi mata mengiya.

Itu tidak aneh. Memang ada tipe orang yang bibirnya mengatakan tidak, tetapi hatinya mengangguk berkali-kali. Kucoba berpikir positif saja. Barangkali ia masih ragu apakah puisinya layak atau tidak layak dinikmati khalayak; barangkali ia masih bimbang menentukan momentum; barangkali ia merasa masih ada yang kurang pada puisi-puisinya. Entahlah. Aku tidak bisa berenang di matanya, apalagi menyelam ke lubuk hatinya.

Cukuplah aku berbisik dalam hati. Semoga kelak ia mengubah "tidak" menjadi "iya".

Jikalau hal itu terjadi, aku pasti akan menceritakannya kepadamu. Lengkap dengan penggalan puisi yang memancur dari matanya. Dan, siapa tahu, kamu akan menyapa kami dengan sebutan: Sepasang Penyair yang Diturunkan Tuhan ke Bumi.

2

Sekarang ia makin matang. Ide-idenya makin cemerlang. Kecerdasan gramatikalnya kian mencengangkan.

Pada satu malam yang langit di atas rumah kami kehilangan bintang dan bulan, ia membabar idenya kepadaku. Katanya, ia ingin membentuk komunitas yang khusus bergerak di bidang literasi. Khususnya kelas menulis dan bincang buku. Gilanya, yang pertama harus berbayar. Alasannya biar pesertanya tidak asal-asalan ikut kelas menulis.

Aku tidak tahu dari mana idenya bermula. Aku memang tidak mau tahu. Yang aku tahu, tidak banyak orang yang sudi membuang uangdemi belajar menulis. Ada, tetapi tidak banyak. Apalagi sebagian besar calon penulis--setidaknya mereka yang berniat menulis--sudah membentuk grup di media sosial dan belajar secara daring (online). Dan itu gratis. Bahkan ada segelintir orang yang sudah menerbitkan sebuah buku dan mengira dirinya sudah menjadi "penulis yang wow", padahal menggunakan kata didan kesaja masih sering salah kaprah. 

Perkara bincang buku jauh lebih mencengangkan. Boleh dikata bisa dihitung jari orang yang mau meluangkan waktu untuk menghadiri perayaan buku--kecuali mereka yang memang bergelut di dunia perbukuan atau mereka yang kadung jatuh cinta pada buku--dan biasanya, kalaupun ada, orangnya itu-itu saja.

Ia gila. Tidak apa-apa kalau kusebut ia gila. Bukankah sekat antara kejeniusan dan kegilaan amat tipis? Lagi pula, aku menyukai kegilaannya. Jelas-jelas aku suka karena aku penulis, aku lelaki yang sehari-hari menggauli kata-kata sesering menghela napas. Tidak aneh. Yang kutakutkan justru semangatnya setipis kulit ari. Gampang tersayat, mudah tergores. Sedikit melenceng dari harapan, lunglai sudah.

Keesokan harinya, ia sudah bergerak. Ia hubungi dua temannya. Mereka nongkrong di serambi kedai kopi di sebuah mal--gayanya kekinian banget--untuk segera bertukar sengit harapan dan sengat kecemasan. Hasilnya, lahirlah institusi impiannya. Katahati. Itu nama institusinya. Ia benar-benar gercep alias gerak cepat. Beda dengan aku yang suka lampas--lambat tak pasti. Ufft! Jangan tertawa. Apalagi menertawakan kelambatan dan ketidakpastianku.

Dua minggu setelahnya, tepatnya 17 Maret 2018, kegiatan pertama Katahati sudah ia gelar. Kelas Menulis Fiksi. Pesertanya tidak banyak. Cuma delapan orang. Namun dari pelbagai kalangan. Ada calon PhD di Leiden yang sedang pulang kampung, jurnalis majalah beken, karyawan perusahan ternama, aparatur sipil di sebuah kementerian, dan mahasiswa. 

Mereka khusyuk mengikuti kelas menulis. Bermain dengan riang, menulis dengan hati. Meski begitu, ia dan Katahati terpaksa nombok. Pemasukan tak setara dengan pengeluaran. Uniknya, matanya tetap saja bercahaya. Jenis cahaya yang seakan menyatakan "aku puas dan sangat bahagia".

Ekspresi peserta Kelas Menulis Fiksi saat mengikuti
Ekspresi peserta Kelas Menulis Fiksi saat mengikuti
Kukira ia semakin gila. Dan, aku ikut-ikutan gila karena ikut tertawa bersamanya. Tertawa melihat ia bahagia. Kemudian, melintas ketakutan di benakku. Tak lama lagi piring akan pecah, sebentar lagi semangatnya akan patah.

Bagaimana menurut kamu? Apakah semangatnya akan jeblok setelah kelas pertama ternyata tidak dijubeli peserta? Jika jawabanmu "tidak", kamu benar. Ia tidak patah semangat. Alih-alih putus asa, semangatnya tambah menggebu. Layaknya petinju yang kalah KO pada pertarungan pertamanya, ia berdiri tegak dan menyusun rencana lebih matang. 

Katanya, Katahati akan menggelar Kelas Menulis bagi kalangan profesional seperti dokter, pengacara, arsitek, staf ahli, staf humas, dsb. Bahkan gebrakan lain seperti Parade 300 Pembaca Puisi. Tetapi aku tidak akan membocorkan semuanya kepadamu. Mana tahu kamu berhasrat mencari tahu sendiri di Instagram atau Facebook Katahati.

Maman Suherman dan Bamby Cahyadi saat mengulas
Maman Suherman dan Bamby Cahyadi saat mengulas
Aku tidak ingin mematahkan bara di matanya. Aku juga tidak ingin meletupkan bara itu, sebab aku tidak mau melambungkan harapannya secara berlebihan. Dunia menulis bukanlah dunia simsalabimatau abrakadabra.

Aku hanya bisa tersenyum dan berdoa--aih, berdoa.

***

Kalau saja kamu ada di sini, kamu pasti akan terkesima melihat harapan memancur dari matanya. Boleh jadi malah seperti aku: terpesona! Aku mengira ia sudah menghapus kata "menyerah" atau "putus asa" dari kamus hidupnya. Atau, jangan-jangan ia memang tidak mengenal kedua kata itu. Dan, hatiku yang memastikan bahwa aku makin mencintainya.

Begitulah. Aku sudah menuturkan semuanya kepadamu. Oh, maaf. Ternyata belum semuanya. Aku belum menyebut namanya. Janggal juga kalau kamu tidak tahu namanya. Baiklah. Namanya Amel. Aku menyapanya dengan sebutan khusus: Pepuja Hatiku.

Kandangrindu, Maret 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun