Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Katahati dan Harapan yang Memancur di Matanya

27 Maret 2018   11:34 Diperbarui: 28 Maret 2018   18:50 1509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membuka Kelas Menulis Kata Hati

Cukuplah aku berbisik dalam hati. Semoga kelak ia mengubah "tidak" menjadi "iya".

Jikalau hal itu terjadi, aku pasti akan menceritakannya kepadamu. Lengkap dengan penggalan puisi yang memancur dari matanya. Dan, siapa tahu, kamu akan menyapa kami dengan sebutan: Sepasang Penyair yang Diturunkan Tuhan ke Bumi.

2

Sekarang ia makin matang. Ide-idenya makin cemerlang. Kecerdasan gramatikalnya kian mencengangkan.

Pada satu malam yang langit di atas rumah kami kehilangan bintang dan bulan, ia membabar idenya kepadaku. Katanya, ia ingin membentuk komunitas yang khusus bergerak di bidang literasi. Khususnya kelas menulis dan bincang buku. Gilanya, yang pertama harus berbayar. Alasannya biar pesertanya tidak asal-asalan ikut kelas menulis.

Aku tidak tahu dari mana idenya bermula. Aku memang tidak mau tahu. Yang aku tahu, tidak banyak orang yang sudi membuang uangdemi belajar menulis. Ada, tetapi tidak banyak. Apalagi sebagian besar calon penulis--setidaknya mereka yang berniat menulis--sudah membentuk grup di media sosial dan belajar secara daring (online). Dan itu gratis. Bahkan ada segelintir orang yang sudah menerbitkan sebuah buku dan mengira dirinya sudah menjadi "penulis yang wow", padahal menggunakan kata didan kesaja masih sering salah kaprah. 

Perkara bincang buku jauh lebih mencengangkan. Boleh dikata bisa dihitung jari orang yang mau meluangkan waktu untuk menghadiri perayaan buku--kecuali mereka yang memang bergelut di dunia perbukuan atau mereka yang kadung jatuh cinta pada buku--dan biasanya, kalaupun ada, orangnya itu-itu saja.

Ia gila. Tidak apa-apa kalau kusebut ia gila. Bukankah sekat antara kejeniusan dan kegilaan amat tipis? Lagi pula, aku menyukai kegilaannya. Jelas-jelas aku suka karena aku penulis, aku lelaki yang sehari-hari menggauli kata-kata sesering menghela napas. Tidak aneh. Yang kutakutkan justru semangatnya setipis kulit ari. Gampang tersayat, mudah tergores. Sedikit melenceng dari harapan, lunglai sudah.

Keesokan harinya, ia sudah bergerak. Ia hubungi dua temannya. Mereka nongkrong di serambi kedai kopi di sebuah mal--gayanya kekinian banget--untuk segera bertukar sengit harapan dan sengat kecemasan. Hasilnya, lahirlah institusi impiannya. Katahati. Itu nama institusinya. Ia benar-benar gercep alias gerak cepat. Beda dengan aku yang suka lampas--lambat tak pasti. Ufft! Jangan tertawa. Apalagi menertawakan kelambatan dan ketidakpastianku.

Dua minggu setelahnya, tepatnya 17 Maret 2018, kegiatan pertama Katahati sudah ia gelar. Kelas Menulis Fiksi. Pesertanya tidak banyak. Cuma delapan orang. Namun dari pelbagai kalangan. Ada calon PhD di Leiden yang sedang pulang kampung, jurnalis majalah beken, karyawan perusahan ternama, aparatur sipil di sebuah kementerian, dan mahasiswa. 

Mereka khusyuk mengikuti kelas menulis. Bermain dengan riang, menulis dengan hati. Meski begitu, ia dan Katahati terpaksa nombok. Pemasukan tak setara dengan pengeluaran. Uniknya, matanya tetap saja bercahaya. Jenis cahaya yang seakan menyatakan "aku puas dan sangat bahagia".

Ekspresi peserta Kelas Menulis Fiksi saat mengikuti
Ekspresi peserta Kelas Menulis Fiksi saat mengikuti
Kukira ia semakin gila. Dan, aku ikut-ikutan gila karena ikut tertawa bersamanya. Tertawa melihat ia bahagia. Kemudian, melintas ketakutan di benakku. Tak lama lagi piring akan pecah, sebentar lagi semangatnya akan patah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun