Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Bahasa Itu Senjata bagi Penulis

23 Juli 2016   00:16 Diperbarui: 30 Juli 2018   23:13 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: huffingtonpost.com


Saya tidak pernah berniat menjadi penulis. 

Semasa kecil, tepatnya sewaktu SD, saya bahkan tidak pernah mendengar ada teman sekelas yang bercita-cita menjadi penulis. Kalaupun teman-teman saya punya cita-cita, biasanya pilot, dokter, guru, tentara, polisi, astronot, atau saudagar. Sesekali ada yang ingin jadi presiden. 

O ya, ada juga yang mau menjadi Habibie--mungkin teman saya ini mengira Pak Habibie itu profesi.

Anehnya, saya tidak pernah berminat memiliki cita-cita. Biarpun dikasih hadiah berupa cita-cita, pasti akan saya tampik. Bagi saya, cita-cita adalah sesuatu yang terletak di tempat yang tinggi sekali, sampai-sampai membayangkannya pun tidak pernah saya lakukan. 

Jadi dokter? Rasanya mustahil. Tiada uang buat biaya kuliah.

Akan tetapi, semuanya berubah semenjak saya bertemu dengan Gorys Keraf. Mengapa saya berubah? Pak Gorys gara-garanya. Kalian tidak perlu bingung, akan saya ceritakan pertemuan saya dengan munsyi kelahiran Lamalera, NTT, itu. 

Tunggu dulu, jangan mengira saya bertemu langsung dengan beliau. Tidak. Pertemuan dan percakapan kami berlangsung secara imajiner. Itu pun terjadi puluhan tahun lalu, 1987, kala saya masih kelas 1 di SMP Negeri Tanetea, Jeneponto. 

Bagaimana bisa saya menemukan beliau? Tak lain bukulah perantaranya. Komposisi. Buku itu dihibahkan oleh guru saya, Aspah Munsyi. Saya selalu suka hadiah, apalagi hadiah buku. Pak Aspah suka guratan pena saya, terutama kalau ada tugas mengarang. Kata beliau, saya berbakat jadi penulis. Maka, buku Komposisi pun berpindah kepemilikan. Tak apa. Asal jangan disuruh bercita-cita menjadi penulis. Lagi pula, sudah dapat hadiah buku.

Selain mengarang, saya juga sangat suka melamun. Itulah sebabnya kala masih remaja, saya sudah membayangkan didatangi Pak Gorys ketika saya sedang asyik membaca buku anggitan beliau di punggung Kapila--kerbau kesayangan saya. Kala itu, saya kira Pak Gorys lebih dahulu menemui Pak Aspah. Soalnya, mereka setali tiga uang mengira saya berbakat jadi penulis.

Untung Pak Gorys tidak membuka percakapan dengan frasa yang saya benci: Apa cita-citamu? Hanya saja, saya sudah punya jawaban andai kata beliau menanyakan hal itu. Ini rencana jawaban saya: Apakah bisa orang miskin punya cita-cita?

Tetapi, semesta benar-benar sedang cerah. Pak Gorys mengusap-usap kepala saya seraya berkata amat pelan. Bahasa adalah senjata para penulis. Saya mencoba mengangguk, meskipun benak remaja saya sebatas paham bahwa senjata penulis pastilah bahasa. Tidak mungkin bedil atau cangkul atau jala. 

Dengan begitu, suka atau tidak, seorang penulis memang harus menguasai bahasa yang kerap dia gunakan untuk menulis. Bila si penulis menggunakan bahasa Indonesia dalam mendedah gagasan, berarti ia harus menguasai bahasa Indonesia.

Serta-merta mata saya melahap cara menggunakan tanda baca. Dan, alangkah! Akhirnya saya tahu bahwa tidak ada tanda titik (.) setelah tanda tanya (?) atau tanda seru (!), karena kedua tanda baca itu sudah memiliki titik. 

Saya pernah menemukan sesuatu yang janggal. Dalam sebuah buku, saya temukan sebuah kalimat yang ditutup dengan delapan tanda seru(!). Padahal itu masih perkara receh, belum sepelik membedakan penggunaan tanda kurung dengan tanda kurung siku atau antara tanda hubung dan tanda sengkang. Apatah lagi perbedaan pemakaian tanda kutip dan tanda petik.

Kata adalah peluru bagi penulis. Bisikan Pak Gorys begitu menohok. Tak ayal, saya eja pula pernak-pernik kalimat. Dari sanalah saya temukan kesalahan mendasar dalam tulisan-tulisan saya selama ini. 

Sebagai contoh, saya masih suka menggunakan saling bantu-membantu. Padahal yang tepat adalah saling membantu atau bantu-membantu, karena bantu-membantu sudah berbentuk kebersalingan. Contoh lain, membahayakan bagi negara. Mestinya kata bagi dalam frasa itu dihilangkan saja.

Pak Gorys menunjukkan perbedaan pemakaian di dan ke--sebagai imbuhan dengan di dan ke sebagai kata depan--yang ternyata sangat mudah. Apabila di dan ke diikuti kata yang menerangkan tempat, otomatis ditulis terpisah. 

Jadilah saya paham bagaimana semestinya menulis di rumah, di kamar, di dalam, dimakan, ditelan,dan ditinggalkan. Begitu pula dengan ke dalam, ke dapur, kemahiran, dan kesedihan. Bagaimana dengan ke luar atau keluar? Caranya sederhana. Tinggal cari lawan katanya. Masuk berlawanan dengan keluar, sementara ke dalam berlawanan dengan ke luar.

Sebelum Komposisi rampung saya baca, senja telah tiba. Terpaksa saya tutup buku yang apik itu dengan dada digelimuni rasa penasaran. Saya ingin tahu banyak soal bahasa Indonesia--pelajaran yang selama ini dianggap momok oleh sebagian teman saya. Hanya sebagian, kok. Sebagian lainnya memandang enteng, walaupun sebenarnya mereka belum bisa membedakan pemakaian dan lain-lain dengan dan sebagainya. Atau, tidak bisa membedakan penggunaan dari dengan daripada. Juga, sulit mengira-ngira apakah PT (Perseroan Terbatas) itu ditulis dengan atau tanpa titik.

Belum lagi bila sudah tiba pada pilihan baku atau tidak, semisal antre dengan antri. Yang lebih sederhana, mengubah dan merubah. Sepelik itukah bahasa Indonesia? Tidak. Kata siapa bahasa Indonesia itu sukar dipahami? Asal mau sedikit berpayah-payah membuka kamus, perkara baku-tak-baku itu amat sepele.

Justru yang sulit bagi saya, hingga saat ini, mencari jawaban bila ditanyai cita-cita. 

Untung Pak Aspah berbaik hati menghibahkan buku kesukaannya kepada saya. Untung Pak Gorys sudi mendatangi saya lewat Komposisi, kemudian berkenan mengajak saya bercakap-cakap perihal bahasa sebagai senjata para penulis. [kp]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun